"Nadin, kemana Mbak Rindang? Kenapa tidak kelihatan dari tadi?" Tanya bunda di dapur nenek.
Kudengar lamat-lamat suara bunda menanyakan keberadaanku kepada Nadin. Sejak kejadian kemarin di rumah orang tua Ummi Midah aku jadi badmood dan mageran sekali. Kuhabiskan banyak waktu hanya berdiam diri di kamar. Merenungi nasib, membuka kembali halaman diary yang banyak kurapal doa-doa setiap hari.
Aku hanya ingin dipertemukan dengan cinta pertama. Bukankah membahagiakan bisa menikah dengan laki-laki yang kita cintai untuk pertama dan terakhir dalam hidup? Cinta pertama dan terakhir, sehidup sesurga di hadapan semesta.
Mengapa Ustadz Zidan harus datang mengganggu semuanya?
Astaghfirullah, aku tidak boleh membenci Ustadz Zidan. Ia tidak tahu apa-apa tentang ini semua. Tidak ada yang salah dari manusia yang tiba-tiba tertarik dengan lawan jenisnya. Cinta, suka, sayang, apapun perasaan baik lainnya adalah fitrah yang diberikan Allah. Hanya saja, waktu kadang tidak tepat menerima kehadiran rasa itu.
"Mbak," Suara Nadin memecah lamunanku.
"Eh, ada apa?" Tanyaku.
"Masih galau dengan Ustadz Zidan?"
Nadin mendekatiku dan rebahan di atas kasur yang tengah kutempati.
"Enggak." Jawabku singkat.
"Rumit ya kalau sudah menyangkut perasaan dan pernikahan." Ucap Nadin dengan mulut dimonyongkan.
"Rumit banget." Jawabku lagi.
"Tapi, aku lebih setuju jika Mbak dengan Kakaknya Luna."
Aku menoleh ke arah Nadin.
"Mengapa begitu? Belum tentu Kak Nuril itu suka dengan mbak. Kami hanya bertemu sekali dulu." Ungkapku.
"Biar tugasku dan Luna untuk mendekatkan mbak dengan Kak Nuril itu."
"Tenangkan saja pikiran mbak."
"Atau bilang saja sama Ummi Midah secepatnya, jika mbak tidak bisa menerima permintaan Ummi Midah." Terang Nadin.
"Berat menolak Ummi Midah. Beliau orang yang sangat mbak segani sekaligus dikagumi." Ucapku pelan.
"Berarti mbak mau dengan Ustadz Zidan?"
"Entahlah. Tidak sepertinya." Aku ragu dengan perasaanku sendiri. Tapi, ingat, perasaanku masih jauh lebih kuat kepada Nuril seorang.
"Hem, sudahlah, dengan Kakaknya Luna saja. Hahaha." Nadin tertawa dan memelukku dari samping.
"Serahkan sama Allah saja, Din." Aku tersenyum simpul untuk segera mengakhiri obrolan ini.
"Ingat, jangan lama-lama menggantungkan perasaan Ustadz Zidan. Segera berikan jawaban kepada Ummi Midah."
"Eh, bocil tahu apa tentang masalah ini?" Aku meledek Nadin dengan memukulnya pelan dengan bantal.
"Aku tahu banyak mbak." Jawab Nadin terkekeh.
"Jangan-jangan kamu sudah punya pacar ya? Mbak bilangin ke ayah nanti."
Aku menjadi curiga dengan Nadin, mengapa ia bisa tahu tentang masalah seperti ini. Ucapannya pun seperti kata mutiara yang ia copy paste dari media sosial. Ah, ada-ada saja Nadin.
"No, no, aku jomblo fi sabilillah."
"Aaamiin"
"Mbak, kata bunda besok kita pulang." Ucap Nadin.
"Iya, Din."
Nadin sudah tertidur di sampingku. Muka bantalnya sama seperti ayah. Tidak bisa lama-lama rebahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Cinta Pertama
RomansaSejak kapan mulai jatuh cinta? Apakah kamu percaya takdir cinta pertama? Lalu, seberapa lama menahan gemuruhnya di dalam dada? Begitulah yang dirasakan Rindang. Saat keluarganya mendesak untuk menikah, ia tidak kunjung membuka hati untuk laki-laki...