14. Sebagai Tamu Undangan

11 2 0
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Banyak hal sering terjadi tanpa bisa ditebak. Hari ini cerita bahagia, besok bisa jadi cerita duka. Begitulah, silih berganti menghampiri hidup ini. Aku bersyukur Allah masih mengelilingiku dengan orang-orang baik. Apapun cerita dan masalah yang menghampiriku, mereka selalu ada untuk menemani.

Saat aku terbaring lemah di rumah sakit, nenek dan Tante Rina begitu panik. Tapi, sayang mereka tidak bisa datang membesuk karena kesehatan nenek sedang tidak baik. Ada ayah, bunda, dan Nadin yang selalu bergantian menemaniku. Sahabat terbaikku, Mita dan suaminya. Datang disela waktu mereka menikmati bulan madu sebagai pengantin baru.

Panjangkan usia dan penuhi hidupnya dengan banyak kebaikan, untuk mereka yang selalu setia menemaniku. Dalam kesibukan mereka masing-masing. Tetap ada dengan wajah ceria penuh bahagia dihadapanku.

Eits, aku lupa, sampai hari ini masih saja Ustadz Zidan membersamaiku. Tidak kenal lelah, tidak pernah menunjukkan amarah, saat banyak ucapanku menyakiti perasaannya yang sedang menanti jawaban untuk masa depannya. Aku berdoa, semoga orang baik seperti Ustadz Zidan dipertemukan dengan perempuan yang lebih baik dariku.

Tidak terasa bahkan tidak pernah kuhitung sama sekali, bahwa besok adalah hari pernikahan Nuril dengan Naureen. Aku bingung harus menentukan pilihan lagi. Apakah aku akan datang sebagai tamu undangan atau memilih untuk tidur sepanjang hari di kamar? Kutelusuri hatiku yang paling dalam masih adakah cinta bersemayam? Nuril yang memenuhi rongga hatiku bertahun-tahun.

Jika aku memilih untuk tidak datang maka masih ada cinta yang berdiam diri dan enggan untuk pergi. Tapi, jika aku memilih untuk menghadiri resepsi Nuril maka aku telah belajar satu langkah untuk meninggalkan cinta dan perasaanku kepadanya. Berbesar hati dan mari melanjutkan hidup lagi.

Pilihan memang kadang menyulitkan. Apakah aku yakin tidak akan menangis melihat Nuril bersanding dengan Naureen nanti? Aku tidak bisa memastikan jika aku bisa sekuat itu nanti. Tidak ada pilihan yang benar-benar menguntungkan. Memilih atau tidak memilih sama saja sulitnya.

Triiiing! Masuk sebuah pesan WA dari Mita.

"Assalamu'alaikum, besti. Sedang apa malam ini? Besok kita sama-sama menghadiri resepsi Nuril ya. Aku jemput kamu bersama suamiku jam 10.00 pagi."

Pesan dari Mita ini seakan membantu kebingunganku tadi. Ia mengajakku bersama suaminya untuk menghadiri resepsi Nuril. Baiklah, bismillah, aku akan datang dengan hati yang lapang.

"Wa'alaikumussalam, pengantin baru. Aku baru saja hendak tidur. Insyaa Allah, besok aku datang. Kutunggu jemputan gratis dari suamimu. Eh, darimu, sahabatku yang paling baik." Balasku dengan menyisipkan candaan sedikit. Tentunya yang mengendarai mobil adalah Ustadz Irsyad, suami Mita.

Keesokan pagi, saat sarapan bersama di meja makan, Nadin membuka obrolan kami dengan sendu.

"Mbak, hari ini aku bersama teman-teman akan menghadiri resepsi Kak Nuril. Luna mengundang teman sekelas kami." Ucapnya sambil menikmati nasi goreng buatan bunda.

"Wah, bakal makan enak hari ini. Jangan lupa dicicipi semua menunya ya." Jawabku dengan bercanda.

Seakan-akan tidak terjadi apapun dengan perasaanku. Padahal ayah dan bunda bisa menebak jika aku sedang tidak baik-baik saja. Anak perempuannya yang pertama ini bernasib malang. Memendam perasaan selama ini untuk jodoh perempuan lain.

"Aku sepertinya tidak selera makan nanti. Karena harapanku dengan Luna untuk menjodohkan Mbak Rindang dengan Kak Nuril pupus sudah." Ujar Nadin mengakhiri makannya.

"Tidak boleh bicara seperti itu, Din." Bunda memperingatkan Nadin untuk menjaga ucapannya. Bunda hanya tidak ingin aku bersedih lagi.

"Mbak bersyukur tidak berjodoh dengan Nuril, Din."

Dear, Cinta PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang