Alma yang masih belum mengerti dengan situasi itu hanya pasrah saja tangannya ditarik oleh Jehan menuju ke sebuah tempat yang ia yakini sebagai tempat menyewa photographer pribadi bagi para turis.
Sejenak otaknya berpikir dengan perkataan Jehan tadi dan menyambungkan semuanya, barulah ia tersadar maksud pria itu menariknya kesini.
"Excuse me, Sir?"
"Yes?"
"Can i ask you something please?"
"Owh sure."
"Do you know anyone named Harry Nedhelco?"
"Wait, do you mean Harry JN a photographer?"
Jehan sedikit menoleh kepada Alma meminta persetujuan, dan dengan cepat dijawab anggukan oleh Alma kepada orang itu.
"I'm sorry, but that person is no longer a photographer here, he has moved to another city since five months ago."
Raut kekecewaan dan helaan napas terdengar dari keduanya, namun Alma masih tetap berusaha mengorek informasi tentang ayahnya.
"Do you know which city he moved to?"
Pria tua itu nampak berpikir sejenak sembari mencoba mengingat memorinya bersama ayah Alma.
"I'm not too sure, but the last time he said about Haskovo and as far as I know his family is from there."
'Haskovo' Lagi-lagi Alma kembali menghela napas, apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia harus pindah ke lain kota lagi? Sedangkan ia baru saja sampai di kota ini satu hari yang lalu.
Jehan yang menyadari perubahan dari raut wajah Alma tersebut langsung mengucapkan kata permisi sekaligus terima kasih kepada pria tadi dan membawa Alma dengan seluruh pikiran yang mengganggunya sedikit menjauh.
Tepat setelah Jehan menghentikan langkah mereka di sebuah tempat duduk di sekitar sana, Alma perlahan mendaratkan pandangan putus asa-nya ke arah Jehan.
"Je, apa ini memang takdir dari Tuhan buat gak mempertemukan gue sama ayah gue ya? Seharusnya memang dari awal gue gak sok-sok an maksa buat cari ayah kandung gue kan? Apa ayah gue bener-bener sedikitpun gak anggap gue ada Je?"
Jehan hanya terdiam, belum berniat membalas satu kata pun pertanyaan Alma.
Lelaki itu sengaja membiarkan Alma mengeluarkan segala jenis pikiran yang mengganggu gadis itu setidaknya sampai ia ssdikit lega.
"Apa gue gak akan pernah bisa ngeliat wajah ayah gue sekalipun?"
Suara Alma mulai bergetar saat mengucapkan kalimat-kalimat berikutnya diikuti dengan pandangannya yang semakin mengabur karena air mata yang berdesakan ingin keluar bebas.
"Emang seharusnya gue ga perlu ada di dunia ini ka---"
Kata-kata Alma terputus karena Jehan yang dengan cepat menarik Alma ke dalam dekapannya.
Menurutnya, Alma bebas mengatakan apapun kecuali kalimat seperti tadi, karena baginya kehadiran Alma sudah membawa pengaruh yang sangat besar terutama di hidupnya.
Tepat setelah Jehan memeluk dan mengusap rambutnya perlahan, saat itu juga tangis yang sejak tadi di tahannya pecah.
Isakan kecil mulai terdengar dari bibirnya, dan air mata yang sudah tak terbendung lagi olehnya terjun begitu saja, meluapkan semua sesak yang ditahannya sedari tadi.
Seperti hari-hari sebelumnya, hanya Jehan dan akan selalu Jehan yang akan hadir pertama kali dan memberikan pelukan menenangkannya.
Bagi Alma, jika suatu saat nanti dunia ini akan mengalami perang yang sangat hebat, ia tak akan merasa khawatir asalkan Jehan ada bersamanya, di dekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unbelievable
Teen FictionSiapa yang menyangka jika orang yang sudah sangat menyayangi Alma dan yang sangat Alma sayangi selama ini bukanlah orang tua kandung Alma yang sebenarnya. Alma ingin marah pada takdir yang membuatnya terihat begitu menyedihkan, Alma ingin marah kena...