00 - AF

11K 290 23
                                    

Halo, sebelumnya mau bilang kalau ini bakal Ryu revisi lagi versi finalnya.
Alurnya mungkin ada yang berubah, karena nanti ini juga bakal ada book 2 nya.
Tunggu aja ya!
Oh satu lagi, kemungkinan perbab bakal panjang sih ahaha..

•|•|•|•

Happy Reading!

Pagi ini udara di sekolah terasa segar, embun masih menempel di rumput halaman dan sinar matahari yang hangat mulai menyinari bangunan-bangunan tua. Aku duduk di bangku depan kelas, di bawah kaca kelas yang terbuka. Suara kicauan burung sesekali terdengar, melengkapi suasana pagi yang tenang. Aku melamun, pikiranku mengembara entah ke mana, mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang belum terpecahkan dalam hidupku.

Dari kejauhan, aku melihat seorang remaja lelaki sedang bermain bola basket sendirian di lapangan sekolah. Setiap gerakannya begitu lincah dan terlatih, seperti sudah ribuan kali dia melakukannya. Aku memperhatikan cara dia menggiring bola, memantulkannya ke tanah dengan irama yang teratur, seolah-olah bola itu adalah perpanjangan dari tubuhnya sendiri.

Aku mengenalnya, meskipun tidak terlalu dekat. Namanya Alvan, seorang siswa yang terkenal jago basket di sekolah. Alvan memiliki postur tubuh yang tinggi dan atletis, rambutnya yang hitam selalu tampak berantakan namun entah bagaimana, justru menambah pesonanya. Saat dia melompat untuk memasukkan bola ke dalam keranjang, aku bisa melihat otot-ototnya yang tegang, menunjukkan betapa keras usaha dan latihan yang telah dia lalui untuk mencapai kemampuannya sekarang.

Alvan kembali melompat, kali ini dengan gerakan yang lebih tinggi dan cepat. Bola yang dia lempar melayang dengan sempurna, menembus ring tanpa hambatan. Sebuah senyuman tipis tersungging di wajahnya, seolah-olah dia tahu bahwa latihan pagi ini tidak akan sia-sia. Aku tersenyum samar, merasa sedikit terhibur oleh pemandangan itu. Namun, tiba-tiba suara berat memanggilnya dari kejauhan, membuatnya berhenti sejenak.

“Alvan, sini kamu!” Suara itu berasal dari pak Broto, guru matematika yang dikenal tegas dan jarang sekali memanggil siswa secara langsung seperti ini. Pak Broto berdiri di sudut lapangan, dengan tangan yang melambai memanggil Alvan.

Alvan berhenti memainkan bolanya, tatapannya langsung tertuju pada Pak Broto yang berdiri di tepi lapangan dengan wajah serius. Kebingungan melintas di wajah Alvan sejenak, namun dia segera meraih bola basket itu dan memegangnya erat. Langkahnya sedikit ragu namun mantap, menandakan bahwa dia siap menghadapi apa pun yang akan disampaikan oleh gurunya.

“Alvan! Bapak memanggilmu berkali-kali, kenapa kamu diam saja? Apa kamu enggak punya telinga?” Pak Broto memarahi dengan nada keras, suaranya bergema di lapangan yang sunyi.

“Punya, Pak,” jawab Alvan dengan nada malas dan acuh. Pandangan mata Pak Broto semakin tajam, menatap Alvan dengan kemarahan yang tak tersembunyi. Dari kejauhan, aku hanya bisa menggelengkan kepala, merasa tidak heran melihat Alvan yang selalu menjawab dengan singkat dan tanpa ekspresi.

Saat Alvan sampai di depannya, aku bisa melihat mereka berbicara, meski aku tak dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Pak Broto segera merangkul bahu Alvan, sebuah gerakan yang tampak serius namun tidak mengintimidasi. Gesturnya lebih seperti seorang mentor yang ingin berbicara dengan muridnya daripada seorang guru yang marah.

Mereka berbicara sejenak, Pak Broto sesekali mengangguk, sementara Alvan tampak mendengarkan dengan cermat. Tanpa banyak bicara lagi, Pak Broto dengan cepat membawa Alvan pergi dari lapangan basket. Langkah mereka mantap, menunjukkan bahwa pembicaraan ini adalah sesuatu yang penting.

Setelah mereka pergi, aku terdiam, merenung sejenak. Pandanganku beralih ke arah jam tangan yang aku kenakan, dan aku menyadari masih ada beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi. Pikiranku dipenuhi rasa penasaran tentang apa yang baru saja terjadi.

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang