33 - AF

1.3K 94 8
                                    

Pagi ini, aku berjalan bersama Naka menuju ruang kelas. Di koridor, kami berdua terus saling melempar candaan kecil yang membuat kita tertawa bersama. Ngomong-ngomong, hubungan aku dengan anak-anak Bradiz semakin membaik. Bahkan Liam dan yang lainnya benar-benar memenuhi janjinya untuk melindungi aku. Terdengar agak berlebihan, tetapi mau bagaimana lagi.

Setelah kejadian kemarin, Alvan semakin memperhatikan dan menjaga aktivitasku saat berada jauh dari jangkauannya. Aku merasa sangat beruntung karena berhasil mendapatkan hati Alvan. Diurus dan dijaga dengan sepenuh hati membuat banyak perempuan di luar sana iri.

Setelah itu, kami berdua memasuki ruang kelas yang ternyata sudah ramai. Aku bahkan menjawab sapaan dari teman-teman dan duduk di sebelah Naka.

"Sejak kapan lo jadi akrab sama mereka?" tanya Naka.

Aku melihat ke arahnya dan mengangkat bahu, "Sejak kepergok sama lo, yang mengobrolin tentang tetangga Romi."

Naka hanya mengangguk, lalu Pak Arkan masuk dan mulai membahas masalah risensi novel kemarin. Beliau menyuruh kami menaruh kedua buku itu di atas meja karena beliau akan berkeliling dan melihat langsung novelnya.

"Pak, emang harus novel, ya? Kenapa enggak pakai buku komik aja?" tanya Rangga sambil mengacungkan tangannya.

Pak Arkan yang sedang mulai berkeliling menatap muridnya dengan tersenyum, "Bapak mau tanya sama kamu, ini judul babnya tentang apa?"

"Risensi novel, Pak," jawabnya.

"Terus kenapa kamu nawar buku komik? Nanti unsur intrinsiknya diambil dari mana? Point akhir dari kelebihan dan kekurangannya gimana?" tanya beliau sambil mengoreksi buku tulis siswa lain.

Sementara Rangga, aku melihat dia menggaruk kepalanya, "Iyakan bisa Pak, toh sama-sama tulisan cuma beda digambar."

Pak Arkan menatap anak muridnya itu dengan datar. Guru muda itu terlihat sangat lelah menghadapi kelakuan anak muridnya yang memiliki pola pikir yang unik.

"Kalau begitu, coba tawar kepada yang membuat materi ini. Tawar kenapa harus novel, bukan buku komik? Biar kamu sendiri puas dengan jawabannya."

"Ya, gak jadi deh Pak," katanya. Kami semua hanya menggelengkan kepala melihat tingkah ajaib milik Rangga.

"Pak!" seru Naka sambil mengacungkan tangannya.

"Iya, kenapa Naka? Mau bapak koreksi bukumu?" tawar Pak Arkan.

Naka tersenyum sambil mengangguk. Dengan cepat, Pak Arkan berjalan menghampiri meja kami. Kulihat Naka menyodorkan buku tulisnya, lalu Pak Arkan mulai mengoreksi setiap tulisan Naka. Namun, ada yang aneh di sini. Raut wajah Pak Arkan seolah-olah menahan gejolak sesuatu, beliau tampak kesal. Apa yang sebenarnya membuat Pak Arkan seperti itu?

"Ranaka Sky Rajendra," panggil beliau dengan pelan.

"Iya, Bapak?" ucapnya riang.

"Kamu ...."

Kulihat Pak Arkan menggantungkan ucapannya, kami semua dibuat penasaran akan kalimat yang akan diucapkan, karena setelah mengoreksi, beliau mencoba tersenyum kepada Naka. Namun, kami pasti tahu ada sesuatu di balik senyum beliau.

"Sungguh pintar sekali ya, karena kamu berhasil merangkum semua isi novel tersebut."

"Ha? Ngerangkum?" Aku meraih buku tulis Naka lalu melihat isinya, ingin membuktikan ucapan Pak Arkan. Benar saja, hampir semuanya ditulis.

"Keren 'kan, Pak?" Dengan santainya, Naka bertanya seperti itu.

Pak Arkan hanya bisa memasang raut wajah yang pasrah, "Iya, Naka, keren kok. Bagus, pintar," pujinya. Padahal, kita semua tahu bahwa di balik senyum Pak Arkan ada rasa tertekan saat menghadapi Naka.

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang