07 - AF

2.2K 151 23
                                    

Setelah keluar dari kamar, aku segera memeriksa sekitar, mencari Bunda dan Argan. Langkahku membawa ke ruang makan, tapi tidak ada siapa pun di sini. Alhasil, aku berkeliling dan melihat Bunda turun dari arah tangga sambil membawa Argan.

"Na, titipin Argan sebentar ya?" ucap Bunda sambil tersenyum.

Tiba-tiba, Argan dioper ke arahku dengan gemetar, si bayi berlemak itu tengah menggenggam erat sebuah biskuit.

"Hah, buru-buru banget, Bun? Ada apa nih?" tanyaku kaget.

"Bunda bikin kue, Na. Khawatir gosong nantinya." Aku mengangguk.

Aku membawa Argan, mengikuti langkah Bunda dari belakang. Kemudian, aku duduk di ruang santai, menyatukan tubuhku dengan gemulai Argan.

Bocah gemuk itu kini mampu meraih suatu objek, lalu setelahnya, ia cenderung melemparkannya secara sembarangan. Terkadang, ia melontarkan kata-kata tak jelas, yang membuatku merasa gemas dan ingin mencubit pipinya.

"Pa ... Pa ... Pa." Aku hanya tertawa kecil sambil mencium pipinya yang hampir meluber.

Tindakanku terhenti saat mendengar pintu diberi gedoran cukup keras, disertai teriakan di luar. Keterkejutan melanda diriku dan juga Bunda.

"Siapa itu, Na? Coba kamu lihat." Aku mengangguk, penasaran siapa pelakunya.

Sambil menggendong Argan, langkahku membawa ke pintu utama, dari situ terlihat bahwa pelakunya adalah Ranaka.

"AUVA MAIN YUK!"

Suara omelan dari yang lain ikut terdengar, tanpa sadar aku tertawa kecil mendengar keceriaan mereka. Setelahnya, aku membuka pintu untuk menyambut mereka, cukup terkejut melihat mereka mengenakan pakaian santai dengan tas ransel yang bersandar di pundak masing-masing.

Sudah seperti anak kampus saja.

"Wah, lo punya buntut Va?" tanya Evan, aku mengangguk.

"Namanya Argan." Aku segera mengubah posisi gendongan Argan menjadi berhadapan dengan mereka, agar mudah dilihat.

Abyaz mendorong tubuh Zaidan, menyentuh pipi gembul Argan. "Lucu banget deh." Argan? Bocah itu asyik ngemil biskutnya.

"Gue pengen gendong, Va," pinta Liam dengan senyum yang manis.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Yuk, gendong Argan." Liam senang, dengan cermat meraih tubuh Argan, memastikan posisi bayi itu nyaman.

Saat Argan di gendong Liam, Abyaz dan Naka setia menjahili Argan. Pandanganku beralih ke Zaidan.

"Kemarin, kita berenam muterin satu mall demi nyari kalian." Aku terkejut mendengar penuturannya.

"Kami bahkan muterin setiap lorong buku, dan akhirnya pegawai sana bilang kalian udah keluar," ucap Ezra.

"Makanya, kalau udah nemu yang bagus, ingetin sekitar, jangan malah keasikan sendiri," sindir Alvan sambil bersandar pada pilar.

Seketika perhatian kami teralihkan saat melihat Argan menangis, Liam terlihat kesusahan menangani bayi yang mulai berontak.

"Loh? Udah pada datang, kenapa enggak disuruh masuk?" Ah, iya juga, karena keasikan berbincang, aku jadi lupa menyuruh mereka masuk.

Bunda melihat Liam mulai kewalahan dan akhirnya mengambil alih Argan. Aku melihat Ezra melotot ke arah tiga anak buahnya. Naka, salah satu pelaku, hanya bisa memberikan cengiran khasnya.

"Cup, cup, anak ganteng kok nangis, sayang?"

"Pipinya diunyelin sama Naka itu, tan," adu Liam.

Bunda tersenyum sambil terus menenangkan Argan. "Aduh, panggil bunda aja biar enak. Kemarin katanya Alvan, kalian mau belajar bareng, ya? Sini masuk." Bunda membuka pintu lebih lebar, setelahnya mereka bertujuh mulai masuk ke dalam.

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang