16 - AF

1.7K 117 12
                                    

"Baik, anak-anak, ibu akhiri pelajaran ini. Minggu depan kita lanjutkan. Selamat beristirahat."

Setelah ibu Maela pergi, kami semua bergegas keluar ruangan. Ada yang memilih menetap untuk tidur. Aku mengambil tote bag lalu berjalan menuju kantin.

Setelah mendapatkan kabar dari Alvan, pesannya hanya satu kata, kantin. Aku langsung tahu di mana dia berada.

Ketika aku memasuki kantin, suasana sangat ramai. Aku melihat Angel dan dayang-dayangnya duduk di meja anak Bradiz. Pasti ini akan menjadi masalah. Aku menatap Alvan yang diam sejak tadi, dan kami saling pandang untuk beberapa detik sebelum akhirnya dia mengangguk.

Langkahku pelan, menggenggam erat tote bag. Jujur, aku sudah merasakan hawa yang seram.

"Van, pulang sekolah, temenin gua ke mall yuk."

Itu suara Angel. Aku perlahan sampai dan berdiri di sekitar meja mereka. Anehnya, mereka tidak menyadari kehadiranku karena sibuk makan. Satu-satunya yang diam dan menatap datar ke depan adalah Alvan.

"Duduk," ucapnya.

Aku bingung. Apakah dia berbicara padaku atau pada Angel? Karena kami berdiri, tetapi yang kulihat, Angel dengan santai duduk di depan Alvan dan di samping Abyaz.

"Alvan, perhatian deh. Jadi, gimana, mau enggak temenin gua ke mall?" Ucapan Angel membuat Alvan semakin mendatarkan wajahnya. Aku merasakan aura negatif di sekitar mereka.

Dayang-dayangnya Angel menyadari kehadiranku dan mengkode Angel dari sorot matanya. Angel pun membalikan badan.

"Oh, upik abu! Ngapain lo di sini?" Nadanya berubah, tidak lagi lembut seperti tadi.

"Halo, Auva," sapa anak Bradiz. Aku menjadi bingung dengan situasi ini, apalagi di tengah keadaan kantin yang hening, dengan banyaknya pasang mata yang melihat ke arah kami.

"Va, kesini duduk sebelah gua, masih muat kok." Suara Zaidan terdengar dari tempatnya bersama Ezra.

"Sini, Va."

Aku bimbang, Alvan terus menatapku, sementara di pojok sana ada yang antusias. Akhirnya, aku putuskan untuk bergabung dengan Zaidan. Namun, belum sempat aku bergerak, ucapan Alvan membuatku terdiam.

"Selangkah lagi, lo jalan ke sana, gak segan-segan gua bikin lo menderita, Auva."

"Alvan, di sini masih ada gua. Biar aja upik abu itu duduk di sana, masih ada ruang."

"Pergi!" tegasnya pada Angel.

Namun, Angel masih tetap bersikeras mendapatkan perhatian dari Alvan.

"Lo manusia, 'kan? Kenapa enggak paham sama ucapan gua? Apa lo sebenernya hewan?" Kalimat yang diucapkan Alvan memang tidak keras, tetapi bagiku, itu menusuk.

"Kalau lo hewan, pantes lo bodoh."

"Pergi, Njel, jangan nunggu Alvan makin marah." Itu suara Evan, dia memang soft boy, dalam keadaan seperti ini tetap bersikap santai, berbeda dengan siswi lain yang sudah membicarakan Angel.

Angel berdiri dari duduknya lalu berjalan keluar kantin. Sebelum pergi, dia menyenggol bahuku sambil berkata 'awas saja'. Mengapa dia yang berbuat jahat, tetapi orang lain yang harus menanggung akibatnya?

"Duduk!" titah Alvan.

Aku pun duduk di tempat yang tadinya ditempati Angel, menaruh tote bag di atas meja. Alvan menarik tote bag-nya dan melihat isi di dalamnya.

Abyaz menyenggol lenganku, lalu menaik-turunkan alisnya. Aku menatap tajam padanya, sementara Evan hanya memasang wajah yang tengil. Kenapa anak berdua ini harus begini?

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang