54 - AF

1.3K 73 5
                                    

Kali ini aku hanya sendiri di ruang rawat inap. Aku menyuruh Alvan untuk pulang karena hari sudah menjelang malam. Awalnya, ia menolak dan menyuruh anggota lain membawakan pakaian miliknya.

Namun, dengan bujuk rayuku, akhirnya ia memilih untuk pulang terlebih dahulu. Kini aku hanya bisa menatap langit yang perlahan mulai menggelap.

Warnanya sangat cantik, rasanya aku ingin memandanginya langsung. Akan tetapi mengingat kondisiku yang belum pulih benar, aku memilih untuk tetap diam.

Aku mendengar suara pintu terbuka. Aku tahu itu ayah karena dari parfum miliknya. Rupanya ayah dari rumah, membawa tas besar yang kemungkinan berisi pakaianku.

Sejujurnya, aku merindukan ayah, tetapi entah mengapa hatiku sangat berat untuk memanggilnya. Sungguh, aku tidak bermaksud untuk mengabaikannya.

Akan tetapi, rasa tidak percaya pada apa yang dibilang oleh Katian membuat aku sedikit tak percaya. Aku tidak sepenuhnya marah pada ayah. Malah, aku merasa ayah itu hebat. Dia bisa menyembunyikan emosinya demi keluarga, ia rela mengalah demi kami semua, padahal sebenarnya itu bertolak belakang dengan sifatnya.

"Hei, putri kecil ayah, kamu kenapa, hm? Dari tadi ayah dicuekin." Aku melihat ayah tersenyum, entah mengapa hatiku malah sakit melihat ayah tersenyum seperti itu.

"Enggak apa-apa, ayah. Aku masih kaget aja sama kejadian tadi," kataku. Ayah mengangguk.

"Mau ayah bantu buat duduk?" tawarnya.

Aku mengangguk semangat, sedari tadi punggungku sakit karena terlalu lama berbaring. Setelah menyelesaikan posisi yang nyaman, ayah memilih duduk di atas brankar.

Kami sempat melakukan kontak mata beberapa menit sebelum akhirnya ayah menatap langit-langit kamar dan mulai bercerita.

"Ayah tahu, mungkin sekarang kamu sudah tahu siapa ayah sebenarnya. Ayah tidak marah kok. Malah, ayah takut anak ayah yang cantik ini membenci ayah karena sifat yang ayah punya," ujarnya dengan hati-hati.

Aku terdiam, masih mendengarkan ayah bercerita.

"Ayah sengaja menyembunyikan ini dari kalian karena ayah tidak mau bunda nanti meninggalkan ayah yang arogan. Sebelum menikah dengan bunda, ayah mati-matian belajar untuk bersikap baik hanya di depan bundamu, selebihnya ayah arogan," lanjutnya dengan suara yang terdengar penuh penyesalan.

"Tapi seiring berjalannya waktu, saat ayah hidup berdua dengan bunda, ayah mulai bisa mengendalikan emosinya. Sampai akhirnya, ayah memiliki putri kecil yang kini beranjak dewasa, serta memiliki jagoan kecil. Ayah selalu memikirkan kalian, mengutamakan kenyamanan kalian, serta kebutuhan kalian," ujarnya sambil meneteskan air mata.

Aku melihat ayah meneteskan air mata, tanpa ragu aku mendekati ayah lalu memeluknya.

"Ayah juga takut bahwa kalian, anak-anak ayah, akan memiliki sifat jelek ayah. Tapi ternyata, kalian tumbuh dengan baik berkat didikan bunda. Ayah senang setelah bertahun-tahun bisa mengendalikan emosi meski hanya di depan keluarga," lanjutnya dengan suara yang penuh haru.

"Jika kamu merasa marah atau kecewa karena sifat ayah yang tidak sesuai harapanmu, tidak apa, Nak. Ayah menerima kok. Tapi kamu jangan takut, meskipun begitu, ayah tetap akan menjadi sosok yang hangat bagi kamu dan keluarga," tambahnya sambil mencoba menguatkan.

Tanpa sadar, air mataku mulai mengalir. Aku sekarang benar-benar memahami perasaan ayah. Ayah telah berjuang keras untuk selalu ada di samping bunda, dan sebesar apa pun cinta yang dimilikinya hingga ia memilih untuk menyembunyikan egonya.

"Kenapa menangis, sayang?" tanya ayah dengan lembut.

Aku hanya menggelengkan kepala. "Enggak apa-apa, Ana gak benci Ayah," ujarku sambil menahan tangis.

ABOUT FEELINGS [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang