“Argh, bagaimana ini? Besok Mas Bahar ingin berziarah ke makam Asih. Aku harus berbuat apa?” Aku masuk ke kamar dengan pikiran yang kacau.
“Apa yang harus aku lakukan?” gumamku.
Perutku mulai terasa sakit, sepertinya bayi yang kukandung memang sangat aktif sekali, sering kali aku merasakan letih.
Apa aku bilang saja Asih dikubur di kampung Ibu? Tapi, jika Mas Bahar tetap memaksa untuk pergi, orang-orang yang berada di kampung akan curiga padaku. Aku membatin.
Otaku harus berputar, bagaimana caranya menyembunyikan perbuatan kejiku.
“Mungkin hari ini aku pergi ke tempa TPU dekat sini. Ya! Aku akan membuat makam palsu bertuliskan nama Asih,” gumamku.
“Sekarang baru jam 11 siang, nanti sajalah kalau jam 1 siang. Nanti aku alasan pergi ke rumah Bu Puji untuk main.”
Pandai sekali diriku, saatnya sekarang tidur siang dan mimpi indah.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul satu, sesuai rencanaku, aku segera bertindak.
“Mas, aku ingin pergi sebentar, ya. Kamu jaga anak-anak di rumah,” ucapku dengan menenteng tas kecil.
“Mau ke mana siang-siang seperti ini?” tanyanya, sepertinya ia akan melarangku untuk pergi.
“Aku mau ke rumah Bu Puji, Mas. Pengen main aja, bosen juga di rumah,” jawabku. Aku harap ia mengizinkan.
“Oh, ya sudah, jangan lama-lama,” ucapnya.
Aku hanya mengangguk, lalu pergi.
“Aku harus pergi ke mana dulu? Ke TPU atau membeli batu nisan?” gumamku, dengan menahan teriknya panas.
“Pergi beli batu nisan dulu kali, ya. Yang penting ada patok bertulis Asih,” gumamku sembari menekan ponsel untuk memesan sebuah taksi online.
Setelah menunggu beberapa menit, taksi yang kupesan datang.
“Dengan Ibu Sania?” Mobil berwarna putih terparkir tepat di depan rumahku.
“Iya.”
Tanpa basa-basi aku masuk dan memberi tahu pada si sopir aku akan pergi ke sebuah tempat.
“Ada yang meninggal, Bu?” tanyanya sembari fokus mengemudi.“Hm, iya, Pak,” jawabku pelan.
“Siapa, Bu? Saudaranya?” tanyanya kembali. Ah! Sopir ini terlalu ingin tahu.
“Pak mending fokus nyetir aja, deh. Saya juga capek!” jawabku sedikit jengkel.
“Iya, Bu, maaf!”
“Ini sudah sampai, Bu,” ucapnya.
Ternyata hanya butuh waktu 15 menit saja, baguslah waktuku tidak terlalu lama untuk hal seperti ini.
“Pak, bisa tunggu nggak, ya, soalnya saya cuma sebentar.”
“Bisa, Bu. Tapi, ada ongkos tambahan,” ungkapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...