CHAPTER 19

8.5K 500 11
                                    

“Sania, mana?! Ayo cepat, katanya mau ziarah.” Suamiku setengah berteriak, ia tampak tak bisa bersabar. Aku tengah sibuk mencari kerudung hitamku. Namun, tak jumpa juga.

“Sebentar, Mas.”

“Bu, kita mau ziarah ke mana?” Adrian dengan tak sopan membuka kamarku walaupun hanya celah sedikit.

“Kamu ngapain buka pintu kamar Ibu?” Mataku terbelalak. Aku yakin ia akan menanyakan perihal makam Asih.

“Memang Asih dimakamkan di mana, Bu?”

“Ssttt. Sana ke depan dengan Bapak, jangan di sini. Ibu akan menyusul!”

Adrian dengan wajah cemberut memalingkan wajah dan beranjak pergi.

“Hadeh, bocah,” gumamku.

Aku segera merapikan kerudung hitam ini dan melilitkan di leherku, serta tak lupa tas kecil yang selalu kubawa.

“Ayo, Raya. Ayo, Sayang!” Aku teriak memanggil Raya agar dia segera keluar.

Zaki digendong oleh Mas Bahar serta diriku menggandeng tangan Raya.

“Kita perlu beli bunga dulu atau bagaimana?” tanya Mas Bahar padaku.

“Tidak perlu, Mas. Biasanya jam segini di pinggir jalan TPA sering ada yang jualan,” ucapku santai.

Ia hanya mengangguk. Aku sesekali melirik Adrian, aku tahu akal bocah ini pasti masih penasaran di mana aku menyembunyikan Asih. Aku pikir dengan cara ini Adrian akan percaya padaku bahwa aku mengubur Asih dengan cara yang layak.

“Ini kuburan Asih?” tanya Mas Bahar sembari menurunkan Zaki yang berada di gendongannya.

Aku hanya mengangguk dengan menelan ludah perlahan. Semoga Mas Bahar tidak curiga.

Aku menoleh ke arah Adrian, dia tampak sedikit terkejut melihat kuburan Asih.

Ma Bahar terduduk lesu, entah apa yang sedang ia pikirkan.

“Asih, maafkan Bapak!”

Dahiku mengernyit, aku pikir ia akan curiga terhadapku, ternyata ia meratapi kuburan Asih.

Aku menghela napas lega sembari mengelus dada.

“Sudah, Mas, jangan sedih begitu,” ucapku, pura-pura menenangkan. Padahal ini hanyalah gundukan tanah.

“Adrian, mana buku Yasin yang kamu bawa?” Mas Bahar menadahkan tangannya, mengisyaratkan agar Adrian memberikan buku Yasin itu.

“Ini, Pak.”

Aneh, tapi ya sudahlah. Hanya aku saja yang tahu, kalau kuburan ini kosong, percuma juga dibacakan doa. Asih sudah menjadi budak iblis di sana.

“Mas, jangan lama-lama, ya. Perutku sudah mulai sakit,” bisikku pelan, ia hanya membalas dengan anggukan.

Setelah beberapa menit aku berpura-pura, akhirnya kami kembali ke rumah, tetapi perutku sudah tak karuan sekali.

“Mas, tolong, Mas!” Aku merintih kesakitan, sembari menggapai tangan Mas Bahar yang berjalan tepat di depanku.

“Ada apa, Sania? Perutmu kenapa?” Ia tampak sangat takut dan khawatir.

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang