03. -UNO

211 14 0
                                    

Xavella terlihat tengah mematikan mesin motornya, ketika dirasa dia sudah sampai tepat di luar halaman rumahnya. Singkat saja, sekolahnya hari ini masih terasa seperti hari-hari biasanya, tidak ada yang spesial.

Pintu rumahnya memang biasanya tidak terkunci. Jadi, sangat memudahkam Xavella untuk masuk kedalamnya.

Ceklek!

"Lho, Kakak baru pulang? Perasaan jam pulang udah dari beberapa jam yang lalu," ucap Zanna, yang sedang berdiri beberapa jarak dari pintu itu.

Xavella sejujurnya sangat begitu malas, kalau harus menghadapi pertanyaan yang dirasanya tidak begitu penting. "Nggak usah banyak tanya, minggir." usir Xavella. Tubuh Zanna tentu menghalanginya untuk jalan.

"Kak, lo sebenci itu sama gue, sampai-sampai gue cuma nanya gitu doang, lo segitunya."

"Nah, itu lo tahu. Udah, minggir." Xavella memutuskan mengarahkan kakinya kearah kanan Zanna. Tapi, Zanna malah menutupi jalan itu.

"Sebentar, Kak, itu lutut lo kenapa lecet, jatuh?" tanyanya sedikit khawatir.

Memang, Xavella mengenakan rok dengan panjang sedikit melebihi lutut. Jadi, jika Xavella mendapatan goresan luka, ataupun lebam, pasti tertampang jelas, di sana.

"Nggak usah banyak tanya, lo nggak
denger, tadi gue ngomong, apa?"

Zanna meremas kasar ke celana jeans bewarna hitam yang dia tengah kenakan. Bisa tidak, jika kakaknya itu tidak harus membencinya, atas dasar pelampiasan emosi. Kenyataan nya, Lothfe lah yang membeda-bedakan mereka. Namun, kenapa harus dia yang dibenci oleh Xavella.

Mengalah, itu yang dilakukan Zanna, dia memberikan Xavella sedikit ruang agar kaki Xavella bisa dengan bebas untuk melangkah lagi. Tepat beberapa langkah lagi, maka, Xavella akan tiba di kamarnya.

Baru saja Xavella ini mengerakkan kakinya. Namun, Lothfe yang muncul dari dapur itu menghentikan Xavella, anaknya yang sangat membangkang.

"Tunggu, Xavella!" seru Lothfe.

Xavella terpaksa menahan langkahnya. Dia lalu mengarahkan badannya di arah Lothfe tadi memanggilnya.

"Kamu berantem lagi kan, di sekolah?"
tanya Lothfe secara tidak santai.

"Nggak." sahut Xavella, sesingkat dan
ringkas. Tanpa ekspresi.

Lothfe memajukan dirinya kedekat Xavella, dia lalu kembali memberikan tatapan penuh gundahnya. "Kamu jangan menipu Mamah, Apa yang bisa kamu dapatin, dengan sifat kamu yang arogan, brutal, dan sok jagoan itu, hah?!"

"Mamah, jangan khawatir tentang Vella, urusin aja tuh, anak emas Mamah," Xavella berkata diiringi lirikan matanya yang tertuju, pada Zanna.

"XAVELLA!" saking kesalnya, Lothfe mulai meninggikan nada bicaranya, sekarang.

"Jangan teriak!" sentak Xavella.

Lothfe mengambil satu nafas kasarnya, benar-benar ya, kalau bicara dengan Xavella, harus penuh kesabaran, juga penuh
keimanan.

"Kalau kamu nggak berantem. Terus, itu
lutut kamu, kenapa bisa pada lebam?"

Xavella akan menjawab. "Kan Vella udah bilang, jangan peduliin Vella, Mah."

Lothfe lagi, lagi, lagi harus menarik nafasnya kembali. Jangan sampai dia lepas kendali.

"Mamah nggak ngerti sama kamu Vel, kenapa kamu nggak ada tutur bahasanya sama orangtua. Sekarang gini aja, kamu masuk ke kamar." Lothfe menunjukkan jari telunjuknya kearah ruangan berpintu cokelat, yang tertara, kamar Xavella.

Bad BelovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang