Liana tersentak bangun ketika dia mendengar suara teriakan yang cukup keras, agak memekik dan menggema. Memang tidak terlalu terdengar jelas, yang artinya jaraknya lumayan jauh. Dia pikir telinganya yang bermasalah, habis waktu tidurnya masih belum cukup. Berdagang di malam sebelumnya benar-benar melelahkan di tambah masih ada rasa lelah dari perjalanan bus kemarin. Tapi melihat langit yang terpampang jelas di celah gorden jendela sudah biru, dia jadi terpaksa bangkit dari kasur empuknya. Kepalanya agak pusing tapi dia tidak bisa melanjutkan tidur. Fica saja masih berada di alam mimpi.
Lalu kenapa dia memilih untuk bangun?
Tidak lain dia cukup penasaran soal teriakan itu. Mungkin jika dia memeriksa sejenak, memastikan tidak ada hal apapun terjadi. Dia mungkin akan melanjutkan tidur. Tenggorokannya juga sedikit kering, dia akan ke dapur untuk minum. Liana turun dari kasur, ruangan masih agak gelap karena gorden menutupi hampir seluruh jendela. Dia tidak ingin membangunkan Fica, jadi dia keluar diam-diam. Membuka kunci penuh dengan hati-hati. Dan keluar tanpa suara. Tidak jauh berbeda dari biasanya, lorong lagi-lagi sepi. Anak-anak masih berada di alam mimpi sama seperti Fica. Liana diam sebentar, memperhatikan ujung lorong tempat dia melihat sosok tudung hitam itu semalam. Hari ini tidak ada yang berbeda, hanya tempat kosong dan sunyi. Makanya, dia tidak merespon apapun. Dan memilih pergi ke dapur seraya mencari asal suara teriakan itu.
Sembari berjalan seorang diri di lorong, dia tidak hentinya untuk menguap. Matanya hanya terbuka setengah, nyawanya mungkin belum terkumpul sepenuhnya. Tapi kakinya tanpa ragu melangkah ke arah tangga, pergi ke tempat dapur yang dia tahu berada di sebelah ruang makan. Ketika dia sudah ada di area tangga, di bawah terlihat cukup ramai. Ada beberapa anak perempuan bergerombol di ujung tangga, mereka tampak ricuh, entah itu berdebat juga tangisan yang entah apa alasannya.
Liana turun tanpa menunggu, melangkah turun agak cepat. Dan begitu sudah dekat, dia terhenti. Langkahnya membeku, matanya langsung membulat sempurna ketika melihat apa yang ada di depan sana. Kantuknya sontak menghilang entah kemana tergantikan rasa takut juga kebingungan. Di atas lantai marmer yang dingin ada genangan merah pekat mengenang begitu besar, bau amis mulai tercium kuat. Asalnya adalah dari tubuh yang belum lama ini mati tergeletak di sana. Kondisinya sudah agak kaku, ada dua luka tusukan dalam di leher kiri dan dada.
Dan orang yang telah tergeletak tanpa nyawa itu adalah Tina Romari.
Liana tentu saja ketakutan, dia jatuh di tempatnya. Tumbang di sana, duduk takut menyender pada pegangan tangga. Melihat seonggok mayat di depan mata, siapapun pasti terkejut. Walaupun mungkin dia masih belum sepenuhnya sadar dari alam mimpi. "Ba-bagaimana bisa?"
Wardah, salah satu gadis di sana menoleh ketika sadar dengan kehadiran Liana yang masih di atas tangga. Langsung mendekat bersama satu perempuan lainnya. Itu Puspa, matanya basah karena air mata. Mereka membantu Liana untuk bangun. "Liana? Kamu baik-baik saja?"
"Itu---itu Tina, Bukan?!" tanya Liana memastikan. Dia tahu itu Tina, dia kenal postur tubuhnya walaupun dia menyimpan dendam. Tapi tetap saja, dia masih tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REUNI (TAMAT)
Mystery / ThrillerSebuah undangan misterius datang ke tempat Liana. Undangan menginap di mansion mewah secara gratis. Awalnya dia pikir ini adalah lelucon. Namun, saat satu pesan datang pada ponselnya yang menjelaskan jika undangan itu adalah sungguhan. Dia memutuska...