Gadis berpipi mandu itu masih saja terbaring lemas dengan mata yang setia terpejam di brankar rumah sakit. Sang kakak juga tak henti-hentinya memandang sendu pada adik semata wayangnya ini.
"Nini, jangan tinggalin kakak, kakak cuma punya kamu, kali ini aja kakak mau egois, tolong jangan pergi dulu, biarin kakak ngebahagiain kamu dulu." kata Irene lirih sambil menggenggam tangan adik kesayangannya yang bebas dari selang infus.
Pertahanannya runtuh, air mata yang sejak tadi ia tahan meluruh bersama dengan beban yang selama ini ia pendam. Wendy yang sejak tadi menemani sahabatnya ini hanya bisa mengelus pundak Irene guna menyalurkan kekuatan.
Ya, Wendy adalah sahabat masa kecil Irene. Wendy adalah saksi hidup perjalanan yang berat dari kedua kakak adik ini. Ia juga berada di sana ketika suatu tragedi mampu mengubah hidup sahabatnya, untuk selamanya.
-
Flashback"Wen, Seul, nanti kerja kelompoknya di rumah gue aja ya, mama pulang soalnya, katanya kangen sama si kalian." kata Irene sambil terkekeh.
"Ye, itu mah mau lo, bilang aja mager keluar." jawab Seulgi mendengus sebal dan langsung disetujui oleh Wendy.
"Dih beneran tau, ini aja ntar gue mau dijemput papa sama mama, adek gue juga seneng kalo kalian dateng." jangan percaya, ini cuma akal-akalan Irene aja biar dia nanti gausah keluar rumah.
"Yaudah iye, tinggal bilang mager keluar apa susahnya sih." mereka masih bercanda bersama sambil berjalan menuju gerbang sekolah, tempat mereka menunggu jemputan.
"Eh, itu mobilnya papa, gue duluan ya Wen, Seul, jangan lupa ke rumah gue." pamit Irene ketika ia sudah melihat mobil papanya.
Namun, hal yang tak pernah Irene bayangkan akan terjadi dalam hidupnya, kini terlaksana tepat di depan matanya.
Sebuah truk pengangkut barang yang entah bagaimana bisa mengemudi secara ugal-ugalan itu menabrak mobil yang tengah menyebrang hingga terguling sampai akhirnya menabrak pembatas jalan.
Dan kalian tau bagian mana yang paling menyedihkan? Ya, Irene melihat itu semua, lengkap dengan kedua matanya tanpa terlewat bahkan ketika itu hanya sepersekian detik saja.
Ia melihat dengan jelas mobil yang dikemudikan oleh sang papa, dan didalamnya ada mama juga adik kesayangannya remuk setelah menabrak pembatas jalan.
Dan saat itu pula, dunia Irene hancur.
Irene hanya bisa menatap kosong kerumunan orang di depan sana, sampai akhirnya Wendy dan Seulgi datang untuk menyadarkannya.
"Ayo, kita anter ke rumah sakit." kata Seulgi setenang mungkin meskipun air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
Irene daritadi hanya diam, melamun. Ia bahkan tak sadar kalau papa, mama, dan adiknya sudah dibawa oleh ambulance ke rumah sakit terdekat.
Ini semua terjadi begitu cepat, dan sangat tiba-tiba. Irene masih mencerna apa yang tadi ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Apakah ia sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Irene dari mimpi buruk ini.
Seulgi dan Wendy sedari tadi hanya menatap khawatir Irene yang hanya diam, tidak menangis dan tidak panik. Hanya ada tatapan mata yang kosong dan raut wajahnya yang datar, tak ada ekspresi yang tergambar.
"Rene..." akhirnya, Seulgi memberanikan diri untuk memulai pembicaraan, karena jujur ia juga masih shock dengan apa yang baru saja terjadi.
Keluarga Irene dan Wendy sudah kenal sangat dekat. Hal ini bermula ketika terjalin kesepakatan bisnis antara perusahaan milik Papa Irene, Jiyong Group dan juga perusahaan milik Papa Wendy, Minho Corp. Sedangkan Seulgi sepupu Irene.
"Apapun yang terjadi nanti, lo ga sendirian, ada kita disini, disamping lo." kata Wendy pelan sambil membawa Irene ke pelukannya.
Dan untuk pertama kalinya, selama bertahun-tahun mereka bersama, Seulgi dan Wendy bisa melihat Irene meneteskan air matanya. Bukan tangisan hebat yang meraung-raung, tapi hanya tangisan tertahan yang sangat lirih dan menyakitkan.
Sesampainya mereka di rumah sakit, disana sudah ada orang tua Seulgi yang bertindak sebagai wali.
Mama Seulgi, Yoona, yang melihat kondisi Irene begitu linglung dan tidak punya arah langsung memeluknya hangat. Dan disinilah tangis Irene pecah sejadi-jadinya. Ia takut kedua orang tuanya dan adiknya akan pergi meninggalkannya sendirian, di dunia.
"Permisi dengan keluarga Tuan Kim Jiyong?" tanya dokter yang baru keluar dari ruang UGD.
"Iya, saya adiknya, bagaimana kondisi mereka?" tanya papa Seulgi berusaha sekuat mungkin, karena bagaimanapun juga Jiyong adalah keluarga kandung satu-satunya yang ia miliki setelah orang tua mereka meninggal dunia.
"Maaf tuan, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi sepertinya Tuhan berkehendak lain. Tuan Jiyong dan Nyonya Chaerin dinyatakan meninggal dunia dalam perjalanan menuju kemari karena kehabisan darah dan juga adanya benturan sangat keras di bagian kepalanya." jelas dokter muda tersebut pelan sambil menunduk, tak kuasa menyampaikan berita duka ini.
Kang Minho, papa Seulgi, hanya bisa menghela napas panjang.
"Jiyong Jiyong, bisa-bisanya kau pergi meninggalkan putri cantikmu sendirian, mana janjimu yang akan mengajak mereka liburan bersama dengan keluargaku? Mana janjimu yang akan menghabiskan masa tua hanya dengan menimang cucu? Anak-anakmu masih butuh dirimu, bodoh." batin Minho tersenyum miris setelah mendengar penjelasan dokter itu.
"Lalu bagaimana dengan putrinya?" tanya Minho pelan, tak sanggup mendengar berita yang selanjutnya.
"Syukurlah Nona Jennie selamat, hanya saja kondisi pasien sekarang kritis dan dinyatakan koma, selain itu dugaan sementara saya, pasien mungkin akan mengalami kebutaan permanen karena banyaknya pecahan kaca yang melukai kedua matanya, tapi itu hanya dugaan sementara karena saya harus memeriksanya lebih lanjut lagi." jelas dokter tersebut berusaha untuk tetap tenang.
Setelah mendengar penjelasan dokter, semua yang ada di sana tak bisa menahan air matanya. Seulgi sudah menangis di pelukan papanya, Yoona yang juga menangis sambil memeluk dan menenangkan Irene, Minho juga berusaha untuk tetap tegar menenangkan mereka semua.
Irene? Dunianya sudah hancur, orang tuanya sudah pergi meninggalkannya. Adiknya buta? Lelucon apalagi ini.
Ada satu pertanyaan yang sekarang menghantui pikiran Irene, bagaimana ia melanjutkan kehidupannya jika semestanya saja sudah pergi meninggalkannya? Tentang adiknya, apakah ia bisa menerima kondisinya yang sudah tak bisa lagi melihat dunia?
"Irene, untuk sementara, kamu sekarang tinggal sama kita ya, nanti untuk biaya pengobatannya Jennie biar paman sama tante yang ngurus." kata Minho pelan sambil memegang kedua bahu Irene.
Kondisi Irene tak jauh dari kata baik, air mata yang tak henti mengalir, matanya yang bengkak, hidungnya yang memerah, rambutnya yang berantakan, dan seragamnya yang kusut.
Otaknya masih mencerna kejadian hari ini. Mulai dari ia pulang sekolah, lalu melihat mobil kelurganya hancur, orang tuanya meninggal dunia, dan adiknya yang didiagnosa buta.
Dan sekarang ia harus bagaimana? Uang warisan orang tuanya jelas cukup untuk membiayai pengobatan Jennie, tapi bagaimana cara ia mengurus itu semua? Tentu ia tak paham dengan cara kerja bagaimana supaya uang tersebut bisa berada di tangannya.
Usia Irene bahkan belum bisa dinyatakan legal, ia masih kelas satu sekolah menengah atas. Adiknya, Jennie, bahkan baru kelas lima sekolah dasar.
"Pah, Mah, kalo kalian pergi, Irene harus gimana?"
–
KAMU SEDANG MEMBACA
happier than ever | jennie x irene
Fanfictionsoul-sisters (n.) connected eternally, praying and cheering for eachother, laughing till stomach hurt, and somehow makes everything all right. because when I'm with you, I'm happier than ever.