10. The Childhood

420 69 7
                                    

Plak!

"LO APAIN JENNIE ANJING!!!"

Irene datang dengan tangisan yang semakin menjadi, apalagi setelah melihat Mino yang malah berlutut dihadapannya.

"Lo apain Jennie—lo udah janji bakal jaga dia, tapi sekarang apa—" Irene meluruh ke lantai dan memeluk lututnya, menumpahkan semua rasa sakit, sedih, dan menyesal di lutut mungilnya.

"Maaf—ini semua emang salah gue." lirih Mino masih dengan posisi berlututnya dan kepala yang menunduk.

"KENAPA JENNIE BISA KAYA GINI?!?!" Irene langsung menarik kedua kerah Mino yang memaksa wajah frustasi itu untuk menghadap tatapan tajam Irene.

"Rene—tenang dulu, ini rumah sakit..." Seulgi yang sedari tadi berusaha untuk mencerna apa yang terjadi pun mulai paham. Tapi, kenapa ada Mino disini?

Seulgi tentu saja tau siapa itu Mino. Mereka bahkan pernah melakukan kolaborasi bersama dancer lainnya.

"Seul—Jennie..." Seulgi langsung membawa Irene ke pelukannya.

Seulgi juga sempat bingung melihat Irene yang tak lagi menutupi air matanya. Terakhir ia melihat Irene menangis pun saat kecelakaan masa itu. Setelahnya hanya tatapan berkaca-kaca yang Irene tunjukkan ketika Jennie sedang kambuh. Dan sekarang, Seulgi paham, Irene dan Jennie hanya punya satu sama lain untuk bisa bertahan.

Irene sangat kalut sekarang. Ketakutannya berubah menjadi kenyataan. Firasat tak enak yang sedari tadi ia rasakan pun menunjukkan titik terang. Jennie-nya, memang tidak baik-baik saja.

"Permisi, dengan wali Nona Jennie?" tanya suster menginterupsi.

"Iya saya kakaknya, gimana kondisi adik saya?" sungguh, Irene sangat takut sekarang.

"Apa anda yang bernama Irene? Karena sedari tadi setelah pasien sadar, pasien histeris dan terus menggumamkan namanya." kata suster menjelaskan.

"Saya Irene, dimana adik saya?" meskipun sedikit bingung kenapa adiknya histeris, tapi Irene tetap berusaha untuk berpikir positif.

"Mari ikut saya." mereka pun langsung masuk ke ruang UGD.

Mino dan Seulgi? Mino masih dengan posisi berlututnya dan Seulgi yang bingung harus bagaimana.

"O–oppa, a–ayo duduk diatas saja."

-

"Nini..."

Suara kecil itu mampu menenangkan Jennie yang sedari tadi memukul dan menarik rambut kepalanya sendiri. Padahal sudah ada dua perawat wanita yang memegang erat tangannya hingga tanda merah tercetak jelas di pergelangan tangannya. Dan jangan lupakan bekas sabuk yang masih terluka lebar.

"Ka–k Re–ne..." tenaga Jennie mulai melemas dan malah menangis semakin keras dan memukul kedua telinganya. Jennie pikir, itu adalah halusinasinya.

Setelah menguatkan dirinya sendiri, Irene pun perlahan mendekati Jennie.

"Nini, udah jangan dipukul terus, nanti pusing." kata Irene pelan sambil memegang kedua tangan Jennie.

"Gamau—orang itu jahat, BERISIK!!!" Jennie terus meronta—sungguh, kepalanya sangat berisik sekarang.

"Nini, Rene peluk boleh?" dengan setengah mati Irene menahan air matanya supaya tidak jatuh. Irene paham situasi ini, ini sama dengan yang sebelumnya, yang dulu pernah terjadi.

Jennie mulai diam, jadi suara tadi bukan halusinasinya? Kakaknya—Irene benar ada disini?

"Kak Rene dimana? Nini mau peluk." tangannya meraba angin dan kepalanya berusaha mencari sumber suara kakaknya.

happier than ever | jennie x ireneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang