Jika berbicara tentang tokoh Irene dalam cerita ini, rasanya tak lengkap jika kita tak membahas tentang kebesaran hatinya. Agaknya semua asam pahit kehidupan telah ia rasa, bahkan saat usianya bisa dibilang masih sangat muda.
Tepat sepuluh tahun yang lalu, kejadian naas menimpa ia dan keluarganya. Ia kehilangan semestanya hanya dengan kedipan mata saja.
Juga, harus menanggung beban yang tak kalah hebatnya kala sang adik tercinta sudah tak lagi bisa melihat dunia. Belum lagi, ia dihadapkan pada sebuah fakta dimana ginjal adiknya harus diangkat paksa karena cedera parah yang dialaminya.
Sungguh, Irene tak pernah membayangkan akan menjalani kehidupan berat yang seperti ini.
Dulunya, hidupnya terjamin. Semua fasilitas tersedia, apa yang dia inginkan langsung ada di depan mata, bahkan masa depannya pun sudah jelas bagaimana wujudnya.
Ingat bahwa mimpi Irene adalah menjadi idol? Ya, itu memang benar. Mimpinya terbit kala melihat sang mama yang tampil di suatu acara festival dengan penonton yang sangat banyak.
Kalau diibaratkan, hampir semua orang yang ada disana menyerukan nama mamanya, dan saat sang mama mulai menyanyikan lagu, mereka juga ikut bernyanyi bersama.
Irene yang berada ditengah-tengah ribuan penonton pun takjub dan terkagum-kagum. Dan dari situlah, Irene bertekad untuk menjadi idol.
Tapi nyatanya, segala yang tadinya ada tergabung dalam kata dulunya yang tentunya sekarang tak lagi bisa ia rasakan kenikmatannya.
Kini, dibawah langit yang sedang menampakkan murungnya, ia bersimpuh ditengah kedua nisan yang mengatasnamakan kedua orangtuanya.
Kenapa juga harus nama orangtuanya yang bertengger rapi disana? Dari banyaknya umat manusia, kenapa harus semestanya yang harus diambil paksa oleh sang penguasa? Tidak-tidak, bukan diambil paksa, hanya saja itu terlalu tiba-tiba.
"Mah, Pah, ini Irene." baru satu kalimat yang terucap tapi air matanya sudah tak lagi terbendung. Biarlah langit kelabu menjadi saksi rapuhnya si sulung ini.
Dulu, papanya pernah bilang kalau pundak si sulung harus sekuat baja dan hatinya harus seluas samudra. Bukan apa-apa, tapi sang papa hanya ingin mengajarkan pada si sulung bahwa kehidupan bisa saja sangat kejam. Dan sang papa tidak akan bisa selalu bersama anaknya, selamanya. Ada kalanya ia akan meninggalkan semua hal yang ada di dunia.
Tapi, mamanya juga pernah bilang kalau sulung juga boleh mengeluh, sulung juga boleh manja, sulung juga boleh lelah, tapi tetap tidak boleh menyerah.
Sulung memang harus kuat, karena ada si tengah atau si bungsu yang hanya akan punya si sulung saat kedua penopang hidupnya tiada.
Tetapi, tetap tak bisa menampik fakta bahwa sulung juga manusia yang butuh sandaran, manusia yang butuh pelukan, dan manusia yang butuh kasih sayang.
"Mah, Irene capek, Irene udah gakuat, Irene pengen ikut kalian..." lirih Irene dengan air mata yang tak hentinya mengalir.
"Pah, mereka semua jahat, mereka ngambil semua milik papa sama mama, bahkan punya Irene sama Nini juga diambil sama mereka, pah. Ayo hukum mereka, mereka udah jahat sama kita, pah..." kata Irene masih tersedu-sedu.
"Mereka ngusir Irene sama Nini, pah. Padahal waktu itu kondisi Nini lagi kritis, butuh biaya besar buat bayar rumah sakit. Tapi kita malah diusir dan dibiarin gitu aja. Untung ada Wendy yang mau bantuin, kalo gaada mungkin aku sama Nini udah nyusul papa sama mama sekarang." kekeh Irene mengingat kejadian delapan tahun silam dimana Irene dan Jennie berakhir diusir oleh keluarga Seulgi.
Flashback
"MA!!! MAMA!!!" teriak Irene kalang kabut mencari keberadaan nyonya besar. Memang, semenjak tinggal di rumah keluarga Seulgi, Irene dan Jennie memanggil kedua orangtua itu sebagai mama dan papa, sesuai permintaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
happier than ever | jennie x irene
Hayran Kurgusoul-sisters (n.) connected eternally, praying and cheering for eachother, laughing till stomach hurt, and somehow makes everything all right. because when I'm with you, I'm happier than ever.