02. The Beginning

501 97 12
                                    

"Irene, makan dulu yuk, lo dari kemaren belum makan loh, ntar kalo lo sakit siapa yang jagain Jennie?" Wendy sedari tadi masih berusaha untuk membujuk sahabatnya ini untuk makan, ya meksipun ujung-ujungnya selalu mendapatkan penolakan.

"Ga dulu Wen, ga laper." balas Irene lemah tanpa mengalihkan tatapannya pada sang adik yang masih tertidur pulas.

"Jen, buruan bangun dong, kakak lo nih disuruh makan gamau, suka banget nyiksa diri emang, marahin gih." kata Wendy yang sudah mulai kesal.

Ini kalo Jennie bangun pasti udah misuh-misuh ke kakak kesayangannya ini. Irene emang selalu gitu, pokoknya adiknya dulu baru dirinya sendiri.

Sering bohong ke Jennie kalo udah makan padahal cuma minum air putih. Sering bilang tidur cukup padahal tiap tengah malam harus kebangun gara-gara Jennie sering mimpi buruk dan penyakitnya kambuh.

"Liatin Jennie dulu ya, gue mau ke kamar mandi sebentar." ucap Irene mulai berdiri pelan.

Ya namanya juga belum makan dan belum tidur hampir 2 hari, Irene hampir limbung kalau saja Wendy tidak sigap untuk menahan tubuh Irene.

"Tuh kan udah gue bilangin juga, makan dulu ya gue suapin." meskipun kadang Wendy itu ngeselin dan gabisa diem, tapi Wendy tetap mempunyai sisi keibuan yang hebat. Wendy selalu ada tiap Irene butuh sandaran atau cuma sekedar butuh pelukan hangat.

"Gue tau lo khawatir banget sama Jennie, tapi tolong, lo harus peduliin diri lo juga. Habis ini lo tidur ya, biar gue yang jagain Jennie." kata Wendy lembut sambil tetap menyuapkan makanan yang tadi ia beli pada Irene. Irene jadi lebih terlihat seperti anak kecil sekarang, hehe.

Irene juga tak bisa membantah karena jujur badannya sangat lemas sekarang. Jiwanya serasa melayang karena tidak tidur seharian, belum lagi baru ini perutnya terisi makanan.

Setelah memastikan Irene tertidur dengan nyaman, Wendy beralih ke kursi di samping brankar Jennie.

"Mimpi lo pasti lebih indah ya Jen, sampe kakak lo nangis-nangis aja ga lo tanggepin. Pasti di sana lo bisa lihat ya, atau bahkan lo udah ketemu papa sama mama disana? Tapi, boleh ga Jen gue ikutan egois?

Gue ga tega liat Irene yang kayak gini, Jen. Irene cuma punya lo, cuma lo yang bisa ngomongin dia, cuma lo yang omongannya bakal didenger sama dia, dan cuma sama lo Irene bisa jujur sama perasaannya.

Katanya lo mau waktu kerjanya gue tambahin, iya deh habis ini gue turutin, gue juga udah nyiapin tempat biar lo bisa busking di depan cafe. Tapi lo harus bangun dulu, harus sehat dulu, baru gue bisa turutin itu.

Bangun ya anak baik, Irene udah nungguin malaikat kecilnya buat meluk dia tiap malem." kata Wendy pelan sekali sambil mengusap puncak kepala Jennie dengan tangannya yang tetap menggenggam tangan tinggal tulang itu.

Sepertinya, kali ini Wendy harus percaya akan keajaiban. Tepat setelah ia mengecup punggung tangan Jennie, ia merasakan ada pergerakan kecil.

"Jennie, kamu denger kakak?" kata Wendy dengan penuh harap.

Namun, tak ada lagi pergerakan dari tangan kecil ini.

"Jennie, kalo kamu denger kakak, coba bales genggam tangan kakak." coba Wendy sekali lagi.

Dan ajaib, Jennie benar-benar sudah sadar dan membalas genggaman Wendy.

"Ka-k R-ene..." kata Jennie lemah sekali.

"Tunggu sebentar ya, kakak panggilin dokter dulu."

Sembari menunggu kedatangan dokter, Wendy membangunkan Irene terlebih dahulu. Meskipun awalanya ia tak tega karena Irene bahkan baru terlelap kurang dari satu jam yang lalu, tapi tetap saja yang Jennie butuhkan saat ini adalah Irene, kakaknya.

happier than ever | jennie x ireneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang