BAB 1

4.5K 192 107
                                    

Tarakdumcesss...

Naskah ini masuk 100 naskah terbaik waktu ikut event cerpen WacakuXElexMedia, tapi karena gagal masuk 10 besar, jadi biarkan daku publish cerita ini di sini 🤣

Yang udah pernah baca versi di wacaku, bisa baca ulang di mari karena ada perubahan di beberapa bagian. Hoho...

ARGA menarik turun Nilam dari atas motornya dengan kasar. Tak peduli jika kaki Nilam belum menapak sepenuhnya hingga terjerembab di atas tanah. Tanpa rasa kasihan, Arga kembali menyeret tubuh gadis itu memasuki hunian kecil tipe 24 yang menjadi kontrakan Nilam.

"Udah aku bilang, jadi perempuan jangan genit-genit!" maki Arga sambil mendorong tubuh Nilam ke arah pintu, isyarat agar gadis itu segera membukakan akses masuk ke dalam rumah.

"Aku nggak genit, Mas!" sahut Nilam. Tangannya bergetar saat memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya. "Aku kan cuma ngobrol a--"

Nilam melenguh saat rambut panjangnya diraih dan dijambak kuat memasuki rumah. Lagi-lagi, tanpa iba, tubuhnya didorong hingga tersungkur di atas sofa.

"Kamu ini kalau dibilangin, bantah terus!" Tangan besar lelaki itu lantas menampar pipi Nilam dengan kuatnya. "Lagi belajar jadi pelacur, hah?"

Nilam mengetatkan rahang menahan panas di pipi serta nyeri hinaan yang ia terima. "Aku sama dia cuma ngobrol selagi nunggu kamu jemput. Mau bagaimanapun dia rekan kerja aku. Jabatan dia di atas aku. Aku nggak bisa main abai aja kalau ada atasan yang ngajak ngobrol."

"Halah!" sentak Arga dengan mata melotot. "Dasar kamunya aja yang nggak punya harga diri! Apa pantes seorang perempuan nungguin pacarnya dengan ketawa-ketiwi sama laki-laki lain?"

Tak ada lagi sahutan yang Nilam berikan sebagai pembelaan. Ia hanya menatap nanar wajah Arga yang memerah penuh amarah. Nilam kepalang hapal tabiat pria itu. Penjelasan apa pun hanya akan Arga mentahkan begitu saja. Ibarat angin lewat yang sama sekali tak dianggap keberadaannya.

Ini bukan kali pertama Arga gelap mata. Setiap mendapati Nilam dekat dengan lelaki lain, terutama mereka yang punya nilai lebih dari segi fisik dan finansial, Arga pasti merasa insecure dan over jealous. Buntut dari perasaan rendah diri itu adalah tindak abusive seperti sekarang. Nilam masih hidup atau minim tidak depresi saja sudah bisa dibilang "untung".

"Handphone kamu mana?" tanya Arga sambil menengadahkan tangan di depan Nilam.

"Buat apa, Mas?" tanya Nilam dengan dahi berkerut bingung.

"Udah cepet sini!" buru Arga tak sabaran. "Kalau nggak ada apa-apa di handphone kamu, harusnya nggak ada yang perlu ditutupi."

Memang apa yang ia tutupi?

Ragu-ragu Nilam mengambil ponsel dari dalam tas kerjanya dan menyerahkan pada Arga yang kini duduk di sebelahnya. Nilam tidak pernah menyembunyikan apa pun, tapi rasa was-was selalu timbul. Ia takut ada secuil saja kesalahan yang dapat memantik emosi Arga lebih naik lagi.

Nilam mendekati Arga yang mulai mengotak-atik ponselnya. Dua netra Nilam kontan membola saat mendapati prianya itu menghapus semua kontak pria dalam ponselnya. Tak hanya itu saja, lelaki itu bahkan menghapus semua aplikasi sosial media miliknya. Kelewatan!

"Mas, apa-apaan, sih?" ucap Nila sambil berusaha meraih ponsel dari tangan Arga.

Sayangnya, gerakan Nilam kalah gesit. Arga lebih dulu berdiri untuk menjauhkan benda pipih itu dari jangkauan Nilam.

"Kamu harusnya bersyukur aku masih peduli sama harga diri kamu sebagai seorang perempuan."

Omong kosong!

"Nggak usah main-main sosmed segala," lanjut Arga. "Nggak perlu juga nyimpen nomor cowok. Jangan jadi cewek gatel murahan, ngerti?"

"Itu nomor cowok juga cuma nomor temen-temen kantor, Mas! Nggak pernah juga aku chat atau telepon untuk urusan pribadi."

"Justru karena nomor temen kantor, buat apa juga di-save?" Arga mencoba menguatkan argumennya. "Hubungan kalian sebatas urusan kantor dan hanya di jam kantor. Hubungi pakai telepon kantor, kan, bisa?"

"Mas!" bentak Nilam sudah tak sabar.

Ponsel dalam genggaman Arga langsung dilempar begitu saja ke arah Nilam. Sudut benda pipih itu menghantam keras di pelipis. Nilam memekik sambil menyentuh ujung alis yang berdenyut nyeri. Air mata seketika luruh dibarengi isak tangis memilukan.

Selama beberapa menit yang terdengar hanya suara sesenggukan dari celah bibir Nilam. Hingga akhirnya Arga mengikis jarak dan menghalau keheningan yang ada. Pria itu beringsut duduk di samping Nilam dan memeluk gadis itu dengan hangat.

Hangat?

Nilam pasti sudah gila.

Tangan Arga pun mengusap punggung Nilam dengan lembut. Berbanding terbalik dengan tindak kasar yang pria itu berikan padanya.

"Maafin aku, ya?" tutur Arga dengan suara lirih. "Aku cinta sama kamu, Lam."

Nilam tak menjawab. Batin dan fisiknya terlalu sakit untuk sekedar membalas perkataan Arga.

"Cuma ada aku yang bisa jagain kamu, Lam," lanjut Arga lagi. "Aku begini juga biar kamu nggak diganggu sama cowok-cowok di luar sana. Aku lagi coba buat jagain kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Sungguh, Nilam muak mendengar rentetan kata-kata Arga. Kalimat yang seharusnya terdengar seperti sanjungan itu justru hanya terdengar sebagai alibi. Hanya alasan untuk membenarkan semua tindakan yang sudah pria itu lakukan padanya.

Kenapa tidak melawan?

Jawabannya karena Nilam tak cukup berani. Memang seberapa besar kekuatannya hingga berani melawan Arga? Dari segi postur dan tenaga saja Nilam sudah pasti kalah.

Kini Nilam hanya mampu membenamkan wajahnya di dada bidang Arga. Hanya mampu melepas segala lara dalam raungan pilu disertai air mata. Menguatkan hatinya lagi dan lagi jika kelak atau mungkin sedetik lagi harus menghadapi sifat temperamental Arga.

...

18 Mei 2022

Reach Out (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang