BAB 6

1.4K 109 43
                                    

DAHI Lutfi berkerut saat melihat Nilam meremas safety belt sambil memejamkan mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DAHI Lutfi berkerut saat melihat Nilam meremas safety belt sambil memejamkan mata. Lutfi tak dapat menebak apa yang sedang mantan kekasihnya itu pikirkan. Saat ia memutar kemudi menuju ke jalan raya, barulah Lutfi tahu penyebab Nilam tampak ketakutan.

Di sana, di tepi jalan depan area pabrik, Arga tengah menunggunya. Lutfi tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, satu yang pasti adalah Nilam sedang mencoba menghindari Arga.

Setelah lima menit berlalu, barulah Lutfi bersuara. "Udah aman. Dia nggak tahu."

Nilam lantas membuka mata diiringi desahan nafas lega. "Makasih, Fi!"

Lutfi tak menjawab. Lelaki itu memilih fokus mengemudi tanpa bicara. Bahkan saat halte yang dituju Nilam hanya tinggal beberapa meter saja, Lutfi memilih tetap melajukan mobilnya tanpa bersuara.

"Fi, haltenya-"

"Temenin aku makan dulu," sahut Lutfi datar.

Lutfi tahu Nilam akan menghindarinya lagi setelah ini. Selagi gadis itu bersamanya sekarang, ia mencoba sedikit bersikap egois. Sebut saja ia terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Namun, Nilam dan luka yang selalu menghiasi tubuhnya tak dapat ia abaikan begitu saja.

"Anggap sebagai ucapan terima kasih karena aku udah nolongin kamu barusan," jelas Lutfi saat menyadari gelagat Nilam yang hendak menolak ajakannya.

Gadis itu tak lagi bersuara. Tampak pasrah atas ajakan sepihak yang ia ajukan. Masa bodoh. Ia hanya ingin tahu, kenapa Nilam masih bertahan dengan pria seperti Arga?

Suara dering ponsel menguar di udara. Nilam memandangi ponselnya selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab panggilan yang masuk.

"H-halo, Mas!" Nilam menjawab telepon dengan tergagap.

Tak perlu jadi cenayang untuk tahu siapa yang sedang menelepon Nilam.

"Ng-ngapain?" tanya Nilam masih dengan tergagap. Lutfi melirik sebentar. Melihat tangan Nilam yang tengah meremas celana kerjanya dengan kuat. "Kan, aku udah kasih kabar kalau aku ikut kirim barang."

Kirim barang? Sejak kapan kepala gudang ikut dalam pengiriman barang?

Salah satu sudut bibir Lutfi terangkat tipis. Ia mulai memahami apa yang tengah terjadi. Nilam jelas membohongi Arga. Gadis itu benar-benar menghindari prianya.

"Nggak, Mas! Beneran aku lagi kirim barang. Ada masalah sama pengiriman kemarin, jadi aku ikut sekalian buat ngecek ke customer."

Dari kaca dashboard, Lutfi dapat melihat Nilam sedang melirik ke arahnya. Mungkin gadis itu merasa tak nyaman karena ketahuan sedang melakukan kebohongan di depannya.

"Kita udah bicarakan ini, kan, Mas? Aku nggak bisa resign gitu aja."

Kening Lutfi kembali berkerut. Resign?

"Iya. Nanti aku kabarin kalau udah sampai rumah." Nilam menurunkan ponsel dari telinga dan memasukkan ke dalam tas diiringi helaan nafas berat.

"Aku baru tahu kamu bisa bohong," kata Lutfi pada akhirnya.

"Semua orang bisa berbohong," jawab Nilam terdengar ketus.

"Tapi nggak semua orang mau berbohong," imbuh Lutfi. "Apalagi sama pacar sendiri."

Nilam tak lagi menjawab. Memilih menolehkan wajahnya menatap pemandangan luar dari kaca jendela. Terlihat enggan untuk bercakap dengan Lutfi jika harus membahas hubungannya dengan Arga atau enggan membahas perihal aksi berbohong yang baru saja Nilam lakukan.

Sebuah kenangan masa lalu seketika melintas. Masih teringat jelas bagaimana Nilam marah saat Lutfi pernah membohonginya kala itu.

"Dulu waktu aku sakit dan nggak bisa jemput kamu, aku terpaksa bohong dengan bilang kalau motor aku mogok." Lutfi mengungkit masa lalu sambil menatap lurus ke jalanan di depannya. "Selama tiga hari, aku bohongin kamu dengan berbagai macam alasan biar kamu nggak sampai tahu kalau aku sakit. Tapi tiba-tiba kamu dateng ke kosan, bawain bubur sambil marah-marah."

"Fi-"

"Dengerin dulu!" potong Lutfi saat Nilam mencoba menginterupsi. "Kamu bilang, udah sewajarnya aku khawatir. Kalau sakit, bilang sakit! Kalau nggak bisa, bilang nggak bisa! Jangan bohong, apapun alasannya!" Lutfi menirukan gaya bicara Nilam saat itu sambil tersenyum. "Padahal aku bohong juga karena sifat overthinking kamu itu."

"Aku?" tanya Nilam dengan nada tak percaya atas sebutan yang baru didapatnya.

Lutfi mengangguk. "Kamu sering khawatir berlebihan sama sesuatu, Lam. Kalau aku jujur bilang aku sakit, kamu pasti over react. Kamu pasti maksa aku ke dokter padahal aku cuma flu atau demam biasa. Parahnya, kamu malah nyalahin diri sendiri. Nyalahin diri kamu yang jadi penyebab aku kecapekan sampai jatuh sakit. Dan aku nggak suka itu."

"Itu karena aku cuma punya kamu." Nilam menyahut dengan suara lirih.

Lutfi menoleh sebentar dan mendapati Nilam sudah kembali menatap ke luar jendela.

"Sejak keluar dari panti, cuma kamu orang terdekat aku." Nilam kembali melanjutkan kalimatnya tanpa mengalihkan pandangan dari kaca jendela. "Kamu selalu sempatin waktu untuk jemput aku padahal kamu juga pasti capek habis kuliah dan magang. Jadi kalau kamu sakit, sudah pasti aku merasa bersalah."

"Itu karena kita cuma bisa ketemu ya saat kamu pulang kerja. Dan aku nggak merasa keberatan. Bukan kamu yang minta, tapi aku yang mau."

"Tapi aku merasa sebaliknya." Nilam meluruskan tubuhnya, kini ikut memandang lurus ke arah depan. "Karena aku cuma punya kamu, jadi aku nggak mau kamu kenapa-napa?"

"Termasuk ambil keputusan dengan mutusin aku?" todong Lutfi tanpa tedeng aling-aling.

Sempat ada jeda sebelum akhirnya Nilam menjawab. "Kita sama-sama sibuk. Aku dan kuliah soreku, kamu dengan urusan skripsi dan tugas magang kamu itu. Itu buat aku merasa ... terbebani? I don't know. Pokoknya aku nggak suka. Aku takut kamu kurang istirahat. Aku khawatir kamu kenapa-napa di jalan karena kecapekan. Aku takut kamu jatuh sakit. Aku takut kamu-"

"Itu udah konsekuensiku karena baru magang di semester akhir," potong Lutfi. "Dan aku juga nggak mau meminggirkan kamu hanya karena itu semua."

"Tapi aku nggak suka kamu memaksakan diri."

"I'm not!" tegas Lutfi sambil mengarahkan setir ke tepi jalan. Ia menoleh pada Nilam setelah memberhentikan mobilnya. "Sejak kamu marah-marah karena aku bohongin kamu, aku udah janji nggak bakal pernah bohong untuk hal sekecil apapun. Termasuk hal yang kamu bilang 'memaksakan diri'. Sama sekali nggak!"

"Udahlah, Fi!" Nilam menghela nafas berat. "Nggak penting juga kita berdebat sekarang. Hubungan kita udah selesai."

...

23 Juni 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

23 Juni 2022

Reach Out (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang