BAB 3

2.1K 131 42
                                    

DI ruang berukuran empat kali enam meter itu, Nilam dan beberapa staf lainnya tengah duduk mengitari sebuah meja oval

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DI ruang berukuran empat kali enam meter itu, Nilam dan beberapa staf lainnya tengah duduk mengitari sebuah meja oval. Mereka sedang meeting dadakan karena adanya keterlambatan kedatangan raw material yang menjadi bahan utama produksi selama dua minggu ke depan.

Perusahaan tempat Nilam bekerja adalah perusahaan berbasis alam yang memproduksi obat dan suplemen herbal dari ekstrak tumbuh-tumbuhan. Dan karena mengandalkan bahan alam inilah, tak jarang muncul perubahan rencana produksi yang telah disusun tiap bulan. Hal itu biasa terjadi karena selalu ada kemungkinan seperti gagal panen atau hasil panen yang tidak sesuai jumlah permintaan. Dan untuk mengatasi hal-hal semacam itu, meeting dadakan antar departemen untuk re-schedule proses, pemenuhan stok hingga penggunaan mesin-mesin produksi adalah hal yang lumrah terjadi.

Namun, se-lumrah apapun hal itu, segalanya tak baik-baik saja bagi Nilam.

Ponsel yang ia letakkan di atas paha masih terus-menerus bergetar tanpa henti. Bukti jika seseorang di seberang sana masih tak menyerah meneleponnya sejak entah berapa menit yang lalu. Hal itu sukses membuat jantung Nilam berdetak tak karuan. Tangannya terasa dingin oleh keringat. Pikirannya melanglang buana entah ke mana. Membayangkan apalagi yang akan ia terima sebagai efek keterlambatan pulang serta tindakan pengabaian panggilan itu.

Nilam harus bagaimana lagi? Ia berada di dua sisi yang sama sulit. Ia hanya budak korporat yang harus pasrah turut serta dalam meeting dadakan saat segala rencana proses tak berjalan sebagaimana mestinya. Ia tidak bisa seenaknya mangkir hanya untuk kepentingan pribadi. Dan di sisi sebaliknya, Nilam juga tahu apa efek dari tindakannya mengabaikan telepon Arga saat ini.

Nilam mengulum bibirnya sendiri. Tangannya yang menggenggam erat pena warna biru bergerak-gerak gelisah. Sungguh ia ingin kabur saja rasanya.

"Kamu bisa pulang lebih dulu kalau takut pacarmu marah," bisik Lutfi yang duduk di sebelahnya.

Nilam melirik sekilas lantas menggeleng kecil sebagai jawaban.

"Pulang aja! Kalau cuma soal update stock, aku bisa bantu jawab dari laporan yang kamu kasih." Lutfi meyakinkan Nilam untuk tak terbebani dengan rasa tanggung jawabnya.

"It's okay, Fi!" jawab Nilam sambil mengalihkan fokusnya pada perwakilan utility yang sedang menjadwal ulang penggunaan mesin produksi.

"Liar!" sindir Lutfi dengan suara rendah. "Jelas kamu lagi panik sekarang."

"Sok tau!"

"Yes, I am. Tiga tahun nggak ketemu, nyatanya kamu sama sekali nggak berubah. Kecuali, status kamu jadi pacar cowok berengsek kayak pacarmu itu."

"Sepertinya cuma kamu yang berubah," balas Nilam. Matanya lalu menatap lurus ke mata Lutfi. "Jadi suka ikut campur urusan orang."

"Bukan orang lain, tapi kamu!" Lutfi membenarkan kalimat yang Nilam lontarkan. Pria itu lalu mengangkat tangan dan menoleh ke Plant Manager yang duduk di seberang meja. "Nilam ada urusan mendesak di luar kantor. Dan karena meeting-nya hampir selesai, sepertinya tidak masalah kalau Nilam undur diri lebih dulu."

Sang Plant Manager lantas mengangguk setuju. Toh, meeting memang tinggal mengubah jadwal dengan memajukan production planning yang telah dibuat di awal bulan. Urusan yang sebenarnya lebih melibatkan bagian purchasing dan PPIC.

Untuk sejenak, Nilam memandang wajah Lutfi yang tengah memberinya isyarat untuk pergi. Merasa sudah terlanjur dimintakan izin, mau tidak mau Nilam pun segera membereskan alat tulisnya.

"Nggak perlu berterima kasih," ucap Lutfi sambil mendekatkan diri ke arahnya. "Aku lebih nggak suka lihat kamu masuk kerja dalam keadaan luka-luka."

...

Lutfi baru saja turun dari lift yang menuju ke parkiran basement sebuah mall. Pria itu segera melangkahkan kakinya ke tempat mobilnya terparkir. Tepat saat ia akan menekan remote mobilnya, netranya tanpa sengaja menangkap sosok Nilam dengan seorang lelaki tak jauh dari tempatnya berada.

Untuk beberapa saat, Lutfi hanya diam di tempat. Memperhatikan sang mantan kekasih dengan pria barunya yang tampak sedang berdebat. Ah, lebih tepatnya sang prialah yang terlihat sedang bercerocos panjang.

Jarak mereka cukup jauh, tak terlalu jelas juga apa yang sedang sepasang manusia itu bicarakan. Yang mampu Lutfi lihat adalah si pria tampak tengah memarahi Nilam. Sedangkan Nilam hanya diam. Sikap yang membuat Lutfi mengerut dahi dengan perasaan tak suka, sangat tak suka. Mencoba mengira kesalahan apa yang telah Nilam perbuat hingga gadis itu pantas dimarahi di tempat umum meski sebenarnya basement dalam keadaan sepi.

Mata Lutfi membulat saat tangan pria itu menampar pipi Nilam. Tangan Lutfi mengepal kuat, rahangnya mengatup erat, terlebih saat melihat Nilam hanya diam saja. Bagaimana bisa gadis itu hanya diam saja saat diperlakukan tak pantas seperti itu? Sebesar apapun kesalahannya, Nilam tak pantas mendapatkan perlakuan kasar seperti itu.

Emosinya yang terpantik membuat Lutfi melangkahkan kaki mendekat. Namun sebelum ia sempat lebih dekat, matanya berserobok dengan mata Nilam. Ia tak bodoh untuk menangkap isyarat mata gadis itu. Nilam memintanya untuk tak ikut campur.

"Sudah, Mas. Ayo kita pulang! Kalau makin lama di sini nanti kamu makin telat." Suara lembut Nilam mampu ditangkap rungu Lutfi. Jelas sekali gadis itu sedang mencoba membawa prianya itu menjauh dari Lutfi.

"Kalau aku telat itu juga gara-gara kamu!" sentak pria itu. "Milih gitu aja nggak becus!"

Lutfi mendecak lidah karena kesal. Jika bukan karena Nilam, sudah habis pria itu di tangannya.

"Iya, maaf! Udah, ya, Mas. Yuk, kita pulang aja!" ajak Nilam sekali lagi.

Lutfi menghela nafas mengingat apa yang dilihatnya tiga bulan lalu. Ia baru bekerja di tempat barunya ini selama lima bulan, tapi sudah beberapa kali ia menemukan Nilam terluka. Satu-satunya yang ia dapat pikirkan sebagai semua penyebab kesakitan Nilam adalah hasil tindakan abusive sang pacar. Memang siapa lagi?

Nilam bukan gadis ceroboh hingga bisa melukai diri sendiri seperti alibi gadis itu setiap ada yang menanyai tentang bekas luka yang tiba-tiba muncul di kulit langsatnya. Entah dahi, entah pipi, entah lengan, bahkan kaki yang terseok pun ia jawab dengan dalih 'tak sengaja terjatuh'. Bahkan orang paling bodoh pun tak akan percaya pada alasan yang itu-itu saja.

Sebenarnya siapa yang bodoh di sini? Teman-temannya yang abai atau Nilam yang terlalu pintar dalam menutupi apa yang selama ini dialaminya? Satu yang pasti, ia tak bisa diam saja sekarang. Memar di dahi Nilam hari ini sudah cukup meyakinkan dirinya bahwa gadis itu mengalami dating violence.

...

11 Juni 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

11 Juni 2022

Reach Out (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang