Nilam sadar dirinya terjebak dalam hubungan 'beracun' dengan sang kekasih. Hidupnya terkungkung dalam tempurung tak kasat mata. Bagai terjebak dalam lorong gelap tanpa cahaya. Bagaimana cara Nilam bisa lepas dari ikatan kondependen itu?
...
Reach Ou...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“JADI kapan kamu mau resign?” tanya Arga di sela makan malamnya dengan Nilam sepulang dari klinik untuk mengobati luka di dahinya.
Rumah makan yang menyuguhkan menu hidangan nusantara itu cukup ramai pengunjung. Tua-muda, entah bersama teman, pasangan atau keluarga, semua terlihat menikmati hidangan dengan suka cita. Berbeda jauh dengan yang Nilam rasakan. Tak ada sedikit pun rasa bahagia mengisi relung hatinya.
Bersama dengan Arga seperti duduk di kursi penghakiman. Layaknya pelaku kejahatan yang siap dijatuhi hukuman. Hanya soal waktu di mana sang hakim mengetuk palu atas vonis yang telah ditetapkan.
“Mas, aku nggak bisa keluar,” jawab Nila dengan hati-hati. “Gajinya lumayan, kerjanya juga nggak berat. Cari kerja lain belum tentu dapat cepet dan mungkin nggak akan sebagus ini.”
“Jadi kamu nggak mau nurut sama aku?” tuduh Arga dengan fokus penuh, mengabaikan santapan yang sudah setengah porsi ia habiskan.
“Bukan, Mas.” Nilam menghela nafas pelan. “Oke, aku keluar. Tapi nggak asal resign, kan? Aku ada tanggungan bayar kontrakan tiap bulan, juga donasi rutin buat panti. Baiknya, sambil kerja sambil coba masukin CV* ke tempat lain. Kalau akhirnya dapat kerjaan yang lebih bagus baru aku keluar. Gimana?”
Kompromi yang coba Nilam gencarkan membuat Arga terdiam. Wajah lelaki itu menunjukkan raut berpikir. Terlihat menimbang semua penjelasan yang Nilam berikan.
Dengan perasaan was-was, Nilam yang duduk di seberang meja menantikan putusan yang akan Arga ambil. Penjelasan yang Nilam berikan adalah jawaban praktis namun bijaksana, jadi seharusnya tidak ada emosi yang akan tercipta.
“Kita nikah, aja!” Jawaban tak terduga itu meluncur dari bibir Arga. “Jadi kamu nggak perlu nyari kerja lain. Cukup di rumah, jadi ibu rumah tangga yang baik.”
Nilam mematung di tempat. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia ingin lepas, bukan makin terperosok ke lubang hitam tak berdasar.
“Kenapa? Kamu nggak mau?” tanya Arga menyadari diamnya Nilam akan keputusan besarnya yang tiba-tiba.
“Aku ... aku cuma kaget.” Nilam berusaha kuat mengulas senyum di wajah. “Kita nggak pernah ngomongin ini sebelumnya.”
“Tapi kamu setuju, kan?”
“Kamu nggak tanya orang tua kamu dulu, Mas? Ini ... keputusan besar, lho!”
Nilam mengangguk kaku lalu tersenyum semanis yang ia bisa. “Kita omongin lagi setelah kamu ngomong sama keluarga kamu, ya?”
Dengan sembunyi-bunyi Nilam menghela nafas lega saat melihat Arga mengangguk setuju. Di sela kelegaan itu, Nilam merasakan tekanan mengguncang batinnya. Ia merasa butuh space untuk bernafas sejenak. Mengambil sedikit saja jarak untuk berpikir ulang tentang kelangsungan hubungan itu.