Nilam sadar dirinya terjebak dalam hubungan 'beracun' dengan sang kekasih. Hidupnya terkungkung dalam tempurung tak kasat mata. Bagai terjebak dalam lorong gelap tanpa cahaya. Bagaimana cara Nilam bisa lepas dari ikatan kondependen itu?
...
Reach Ou...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ALIS Nilam berkerut saat mendengar panggilan spesial wanita itu. Ia memandangi wanita itu lamat-lamat, mencoba mengingat apakah ia pernah mengenal atau sekedar melihat wanita itu sebelumnya. Sayangnya, tidak. Wanita itu asing dalam ingatannya.
Permainan Tuhan memang tidak terduga.
“Siapa dia, Mas?” tanya Nilam pada akhirnya.
Arga berdiri, maju beberapa langkah dan berniat menggapai tangan Nilam tapi Lutfi lebih dulu menepisnya. Tatapan tajam Arga arahkan pada Lutfi. “Jangan ikut campur!”
“Saya terpaksa ikut campur!” balas Lutfi tak kalah sengit. “Kamu mau bawa Nilam untuk kamu hajar lagi, kan?”
“Itu bukan urusan kamu!” sergah Arga. Lelaki itu lantas menoleh pada Nilam. “Pulang, Lam!”
“Jawab dulu siapa dia, Mas?” Nilam mengeraskan hati. Ia tak akan merasa takut karena mereka ada di tempat umum dengan banyak pasang mata menonton. Arga tak akan bersikap bodoh dengan berani menyakitinya di hadapan orang banyak. “Selingkuhan kamu?”
Pertanyaan yang Nilam lontarkan tepat mengenai sasaran. Mata Arga terlihat gelisah meski tidak mengurangi suhu perseteruan yang terjadi.
Nilam lantas menoleh pada wanita yang berdiri tak jauh di belakang Arga. “Kamu pacarnya mas Arga, Mbak?”
Wanita itu melirik ke arah Arga seolah sedang meminta persetujuan. Nilam dapat melihat bahwa Arga menatap wanita itu dengan tajam sebagai isyarat agar tetap diam. Hingga akhirnya wanita itu memberikan jawaban. “Bukan, saya cuma teman kantornya.”
“Kalau Mbak berbohong hanya karena aturan kantor Mbak yang melarang sesama karyawannya punya affair, saya ingatkan kalau di sini bukan kantor. Mbak nggak perlu bohong sama saya,” tutur Nilam.
“Kalau dia bilang ‘bukan’, ya berarti ‘bukan’!” sambut Arga. “Di sini kamu yang selingkuh!”
“Kalau aku bilang ‘bukan’, apa kamu bakal percaya, Mas?” balas Nilam.
“Tapi kamu jelas-jelas pegangan tangan. Itu udah jadi bukti kalau kamu yang selingkuh!” tuduh Arga tak mau kalah.
“Dan aku nggak tuli untuk dengar dia manggil kamu ‘Yang’!” tangkis Nilam sambil mengarahkan telunjuknya ke arah wanita itu.
Nilam tersenyum tipis saat melihat Arga kehilangan kemampuan menjawab. Tersenyum juga atas kebodohannya setelah selama ini diam saat menjadi korban kekerasan yang justru mendapatkan balasan pengkhianatan.
Sakit hati? Tentu. Namun, Nilam justru merasakan kesenangan disaat bersamaan. Ia seolah menemukan cahaya di dalam lorong panjang yang gelap. Ini seperti alat yang siap ia gunakan untuk melawan. Tanpa perlu berpikir ulang, keputusan bulat sudah Nilam tetapkan saat itu juga.
“Kita putus, Mas!” ucap Nilam dengan tegas.
“Jangan ngaco, kamu!” sentak Arga yang tengah berdiri di hadapannya.
“Kamu yang ngaco! Kamu nuduh aku selingkuh, tapi kamu sendiri selingkuh! Salah aku apa sampai harus terima semua perlakuan buruk kamu?” Nilam berucap tanpa peduli pandangan orang-orang di sekitarnya. “Kamu tampar, kamu pukul, kamu tendang, aku diem aja! Kamu nuduh aku macam-macam, padahal kamu nggak lebih baik dari aku!”
“Kalau kamu jadi perempuan baik-baik dan nurut, nggak kegenitan sama cowok lain, aku juga nggak akan marah, mukul apalagi selingkuh dari kamu!” balas Arga dengan suara meninggi. “Jadi ayo kita pulang dan selesaikan ini di rumah!”
“Kita putus!” tegas Nilam sekali lagi sambil menjauhkan tangannya saat Arga hendak menggamitnya. “Nggak ada yang perlu kita omongin lagi. Kita sama-sama selingkuh jadi hubungan kita udah jelas berakhir.”
Nilam lantas pergi meninggalkan tempat yang sudah mendatangkan kerumunan. Ia pergi secepat mungkin dari tempat itu. Hal pertama yang ia pikirkan adalah segera mengemasi barang-barang dan pergi dari rumah kontrakannya. Meski ia telah berani melawan, nyatanya masih ada ketakutan Arga akan menemuinya dan tidak melepaskannya.
Kaki Nilam melangkah menuju tangga darurat. Ia menghindari elevator yang pasti dinaiki banyak orang. Ia butuh tempat untuk menenangkan dirinya sebentar. Meyakinkan dirinya jika segalanya akan baik-baik saja. Memantapkan hatinya jika pilihannya sudah tepat.
Sesaat setelah melewati dan menutup pintu tangga darurat, tubuhnya limbung dan merosot hingga terduduk di salah satu anak tangga yang dingin. Tangisnya pecah tanpa bisa ia cegah. Entah itu tangisan penuh luka, ketakutan atau justru tangisan kebebasan. Segala bercampur jadi satu. Yang ia butuhkan hanya mengeluarkan segala perasaan yang membuncah dalam dadanya. Menangis sepuasnya tanpa peduli jika ada orang yang mendengarnya.
Lutfi yang menyusul masuk hanya terdiam dan memilih duduk di samping Nilam. Membiarkan Nilam meluapkan air mata sepuas hatinya tanpa sedikit pun menginterupsi. Memberikan waktu bagi Nilam untuk mendamaikan hati dengan caranya sendiri.
Hingga setelah lima belas menit air mata bercampur isakan itu terhenti, barulah Lutfi beranjak dari duduknya. Ia mengambil tempat dengan berjongkok di hadapan Nilam sambil menggenggam kedua tangannya.
“You can and will survive without him, Lam!” ucap Lutfi.
“Aku bukan nangisin Arga, Fi!” jawab Nilam. Ia menunduk memandangi dua tangan yang menangkup kedua tangannya. “Aku cuma merasa bodoh banget selama ini. Aku bertahan untuk hubungan yang jelas nggak bikin aku bahagia. Tiap hari aku merasa selalu diawasin. Beberapa hari ini, setiap mau tidur selalu mikir, aku besok mau bohong apa lagi biar bisa ambil space dari dia. Aku selalu mikir, konsekuensi apa yang akan aku dapat kalau Arga tahu aku bohongin dia.”
Lutfi mendengarkan dengan khitmad semua tumpahan perasaan Nilam sambil memandang wajah yang lembab dan memerah di area hidung serta mata wanita itu. Mata Nilam lantas menatap ke dinding di ujung pandangannya lalu tersenyum tipis.
“Persetan dengan cinta atau teori ‘dia bakal berubah’, seharusnya dari awal aku lebih berani dan nggak ragu buat ninggalin dia. Dan ajaibnya ... saat melihat perempuan tadi, aku justru merasa senang. Aku merasa punya kesempatan dan mendadak punya keberanian untuk melawan.” Nilam menurunkan arah pandangnya dan menatap Lutfi dengan lekat. “Seandainya nggak ada perempuan itu dan nggak ada kamu di sana, mungkin aku akan pulang dan jadi sandbag-nya Arga lagi.
“Lalu ... gimana dengan nanti saat aku cuma di rumah sendirian? Arga bisa aja datang dan ngehajar aku habis-habisan. Saat berpikir untuk minta tolong kamu tadi, aku tahu ini bisa jadi ganjaran yang akan aku dapat, tapi rasa takut itu tetap ada.”
...
Pendek banget ya chapter ini...
🤔
Dua chapter menuju Ending 😚
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.