Nilam sadar dirinya terjebak dalam hubungan 'beracun' dengan sang kekasih. Hidupnya terkungkung dalam tempurung tak kasat mata. Bagai terjebak dalam lorong gelap tanpa cahaya. Bagaimana cara Nilam bisa lepas dari ikatan kondependen itu?
...
Reach Ou...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DENGAN tangan gemetar, Nilam berjalan menghampiri Arga yang sedang duduk menunggunya di atas motor.
"Maaf, ya, Mas! Meeting-nya dadakan karena harus ada re-schedule proses," terang Nilam.
Arga hanya diam seraya menyerahkan helm pada Nilam tanpa merespon sedikit pun. Hal itu membuat Nilam menggigit bibir bagian dalamnya, cemas atas keheningan yang akan mengiringi perjalanan mereka pulang.
Setelah setengah jam yang diliputi sunyi, motor Arga berhenti di depan rumah kontrakan Nilam. Dengan buru-buru Nilam turun dari motor untuk membukakan pintu agar kemarahan Arga tak makin tersulut hanya karena masalah sepele.
"Mas mau minum apa?" tanya Nilam.
Arga yang sudah duduk di atas sofa masih mendiamkannya. Bahkan lelaki itu sekarang lebih memilih menyibukkan diri dengan ponsel hitamnya ketimbang menjawab pertanyaan sederhana Nilam.
"Teh manis aja, ya?" tanya Nilam meski tidak kunjung mendapat sahutan.
Nilam lalu pergi ke dapur dan menyiapkan minuman untuk Arga. Tak lebih dari sepuluh menit, ia kembali ke ruang tamu dengan membawa nampan berisi segelas teh manis panas.
"Diminum dulu, Mas!" kata Nilam usai meletakkan gelas di depan Arga.
Masih belum ada balasan yang Arga berikan. Silent treatment masih pria itu jalankan rupanya.
"Mas nungguin lama ya tadi?" Nilam memberanikan diri membuka obrolan. "Aku, kan, udah kirim chat kalau bakal pulang telat karena ada meeting."
Kalimat terakhir Nilam sukses mengalihkan atensi Arga dari ponselnya. "Aku nggak selalu ngecek setiap chat yang masuk. Kenapa nggak telepon aja, sih? Aku baru tahu ada chat dari kamu setelah sepuluh menit nungguin kamu di luar. Abis itu, aku telepon ratusan kali nggak dijawab-jawab! Dan setelah aku bela-belain nungguin kamu, sekarang kamu nyalahin aku?"
"Bukan ... maksud aku—"
"Halah!" potong Arga. "Dasar kamunya aja yang nggak tahu terima kasih! Aku udah baik lho nawarin diri antar jemput kamu tiap hari. Emang semuanya beres hanya karena kamu merasa udah kirim kabar. Aku nungguin kamu hampir satu jam! Kamu pikir aku nggak capek? Pulang kerja maunya langsung pulang langsung istirahat malah ...."
Nilam menulikan telinga atas rentetan cercaan Arga. Entah apa saja yang lelaki itu katakan, Nilam tak peduli. Ia hanya menunduk, pura-pura mendengarkan. Semua caci maki Arga masih lebih baik daripada harus menerima siksaan fisik. Nilam hanya perlu diam sampai emosi lelaki itu mereda.
"Kamu dengerin aku nggak, sih?" tanya Arga di ujung cerocosan panjangnya.
"Denger, Mas ...," jawab Nilam dengan nada selembut mungkin sambil menatap Arga yang masih terlihat marah. "Iya, aku yang salah. Aku minta maaf."
"Udah, kamu pindah kerja aja, lah!" putus Arga begitu saja. Nilam yang mendengarnya hanya mampu menatap bingung dengan keputusan impulsif pria itu. "Berapa kali kamu meeting mendadak kayak gini? Itu artinya management kantor kamu itu nggak bagus. Jadi mending keluar, cari kerja di tempat yang lebih baik."
"Nggak bisa gitu dong, Mas!" Nilam mencoba negosiasi. "Nyari kerjaan baru kan bukan hal mudah. Dapet kerjaan jadi kepala gudang ini juga kan hasil perjuanganku dari dulu. Lagian jaman sekarang banyak perusahaan yang nyarinya fresh graduate dari lulusan universitas ternama. Aku cuma lulusan universitas swasta yang nggak terkenal, udah jelas kalah spesifikasi."
"Kamu itu terlalu pesimis. Belum juga dicoba udah nyerah. Kalau ada yang berpengalaman, perusahaan juga pasti nyarinya yang berpengalaman."
"Bukan pesimis, Mas. Realistis, aja. Nggak ada masalah sama kerjaan aku, perusahaan juga baik-baik aja, jadi kenapa aku ha—" Nilam terlonjak tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya saat air teh—yang beruntungnya sudah tidak terlalu panas—Arga siramkan ke wajahnya.
"Kamu ini kalau dibilangin bantah terus, ya?" hardik Arga sambil berdiri. Tatapan tajam menusuk terarah pada Nilam. "Ah ... pasti karena si Lutfi itu, kan, makanya kamu nggak mau resign? Karena aku kalah kaya, terus kamu mau ngerayu dia?"
"Aku nggak ada apa-apa sama Lutfi," bela Nilam sambil menahan genangan yang mendesak luruh dari pelupuk. "Dia atasan aku."
"Ya, makanya nurut selagi aku ngomong baik-baik. Aku nggak suka kamu genit dan cari-cari perhatian sama cowok lain. Kayak wanita murahan!"
"Tapi Mas, a—"
Arga mengambil gelas kosong yang ada di atas meja lalu melemparkannya dengan keras ke arah Nilam sebelum selesai berkata-kata. Pekik kesakitan lolos dari bibir Nilam saat benda berbahan beling itu pecah membentur dahinya. Pandangan Nilam seketika mengabur disertai rasa perih yang menusuk.
Tangan yang sempat reflek menyentuh kening ia turunkan saat merasakan sesuatu yang basah. Benar saja, cairan kental merah pekat telah menyelimuti telapak tangannya yang pias. Seketika itu juga bulir bening yang menumpuk akhirnya gugur menguyur pipi. Sisa upaya membentengi air mata agar tak jatuh sukses menghasilkan rasa sesak di dada. Isakan tercipta begitu saja tanpa mampu dikendalikan. Dan entah untuk keberapa kali, Nilam mengucap penyesalan dalam hati atas keputusannya menerima Arga dua tahun lepas.
Jika waktu bisa diputar atau jika ia diberi kesempatan bicara pada dirinya di masa lampau, ingin sekali ia mengingatkan dirinya sendiri untuk tak terbuai dengan sosok sempurna Arga kala itu. Nilam tak menyangkal jika Arga adalah sosok paket lengkap waktu itu, hanya saja ia tak tahu jika dibalik itu semua ada sikap abusive yang menyertai pria itu.
Awal mula semua ini terjadi, otak dan hati Nilam selalu mengajukan argumen tumpang tindih. Ia tahu Arga bersalah karena telah berlaku kasar, tapi di sisi berlawanan ia anggap itu hanya sebuah kekhilafan. Nilam pikir, ia memang bersalah hingga pantas dipukul. Mungkin Arga hanya terlalu menyayanginya hingga lepas kontrol. Dan setiap lelaki itu meminta maaf lalu berjanji tidak akan mengulanginya, Nilam yakin Arga akan berubah.
Sayangnya, pemikirannya salah besar.
Kini hidup Nilam bak terkungkung dalam tempurung tak kasat mata. Lelaki yang awalnya romantis itu berubah menjadi posesif dan terlalu paranoid akan segala hal yang bersangkutan dengannya. Perlahan tapi pasti, sang kekasih mulai mengontrol segala sesuatu tentang Nilam, mulai dari pertemanan bahkan cara berpakaian.
Hubungan 'beracun' itu tak hanya menggerogoti kesehatan fisik tapi juga kesehatan mentalnya. Tanpa perlu diingatkan, ia pun ingin lepas dari ikatan kondependen itu.
Di sela tangisnya, Nilam merasakan Arga mendekat. Lelaki itu duduk di sisinya lantas memeluk dengan berbagai lontaran permohonan maaf dan janji manis yang tak pernah terwujud. Entah sudah berapa kali rekonsiliasi terulang. Repetisi tiada akhir. Amarah diliputi makian hingga kekerasan yang akan ditutup dengan ungkapan penyesalan. Lagi-lagi yang bisa Nilam lakukan hanya tunduk pada kata-kata. Memaksa diri untuk memaafkan walau hatinya berteriak untuk menolak.
...
Mau ngata2in Arga?
Boleh....
Silahkan! Bebas! Maki aja! Aku juga kesel soalnya 😤
Asdjbagdyiwnsiejhdisneuduwopqpo!!!
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.