Bab 9

771 50 0
                                    

Acara akad nikah Sendy dan Angga telah selesai dan saat ini para tamu dan keluarga tengah menikmati santapan mereka. Kecuali Bastian yang sejak tadi menyuarakan jika ia merasa lapar, karena pada kenyataannya sejak tadi ia tengah sibuk mendekati Fifi. Entah apa yang ada dalam benak lelaki tampan berwajah oriental itu, Fifi telah menjadi kekasihnya dan menyetujui untuk menikah dengannya. Tapi masih saja ia berusaha melancarkan aksi rayuan penuh tipu daya, yang menurut Raka sangat memuakkan.

"Sudah, deh, Bas. Nggak capek apa lo gombalin adik gue mulu dari tadi," tegur Raka dengan wajah kesalnya yang sudah tidak bisa dikondisikan lagi.

"Elah. Lo mah masih dendam aja kalah olimpiade, sudah berlalu, Bambang!" ejek Bastian dengan wajah cueknya.

Fifi yang menjadi saksi perdebatan antara sang kakak dan kekasih hanya bis amemijat kening, kepalanya terasa sakit melihat kedua lelaki tampan itu memasang wajah tidak bersahabat. Apa jadinya masa depannya bersama dengan Bastian nantinya jika lelaki itu tidak bisa berdamai dengan sang kakak?

"Kakak kamu, nih, nggak bisa berbesar hati banget jadi orang," adu Bastian dengan wajah yang dibuat imut.

"Awww..."

Bastian mengaduh karena Fifi melayangkan cubitan di pinggangnya, karena tidak mungkin ia mencubit gemas pipi Bastian di depan sang kakak. Hubungan kedua orang itu memang tidak pernah baik sejak dulu, dan itupun berlanjut hingga di universitas karena keduanya melanjutkan di universitas yang sama.

"Awas aja kalau sampai lo nyakitin adik gue," ancam Raka berlalu meninggalkan Bastian dan Fifi.

"Thank you, Kakak Ipar," goda Bastian dengan wajah jenakanya.

"Najis!"

Fifi hanya bisa menggelengkan kepala, tidak tahu lagi harus berbuat apa agar kedua orang itu berhenti. "Jadi besok gimana?"

"Besok aku jemputin kamu di sekolah, paling juga besok Amey nggak sekolah kecapean."

"Ya udah, deh, kalau gitu. Fifi nyusulin Sendy dulu ya," ucap Fifi melepaskan genggaman tangan Bastian dan berjalan menuju taman belakang sebelum terdengar suara benda jatuh ke kolam renang.

Seperti biasa, Bastian dengan segala kejahilannya. Setelah melihat pasangan pengantin baru yang tercebur ke kolam renang, ia malah menjadikan hal itu tontonan. Bahkan adegan romantis yang sempat ditunjukkan keduanya pun berhasil dirusak oleh Bastian. Sedangkan Fifi hanya menggelengkan kepala karena pusing melihat tingkah absurd kekasihnya.

***

Siang ini Fifi nampak berdiri seorang diri di depan gerbang sekolah. Rupanya benar apa yang dikatakan Bastian kemarin, kalau kemungkinan besar hari ini Sendy tidak masuk sekolah. Gadis itu jadi berpikir apakah benar sang sahabat sudah melakukan hal iya iya seperti yang dilihatnya beberapa waktu lalu? Memikirkan itu membuat perutnya terasa bergejolak, mendadak ia berlari kembali ke dalam area sekolah untuk mencari toilet.

Beberapa siswi yang kebetulan berada di dalam toilet nampak perhatian pada Fifi. Gadis itu selain dikenal berprestasi, ia juga sangat bersahabat dengan yang lainnya. Sedikit berbeda memang dengan Sendy yang jauh terlihat lebih garang dan menyeramkan ketika marah.

"Lo kenapa, Fi?"

"Sakit, lo?"

Beberapa pertanyaan penuh kekhawatiran itu terdengar di telinganya. Fifi hanya menggeleng lemah, mengeluarkan seluruh isi lambung membuatnya lemas. Kalau bukan karena kejadian menjijikan yang dilihatnya itu, tidak mungkin ia akan seperti ini sekarang.

"Gue baik-baik aja, masuk angin kali," jawab Fifi sembari menyambut tissue yang diberikan salah satu siswi yang tadi bertanya.

"Mending lo langsung pulang, jangan main habis ini. Pucet gitu."

"Thanks, ya. Gue duluan," ucap Fifi ramah sebelum meninggalkan siswi-siswi tadi di depan toilet.

Langkahnya nampak gontai menyusuri koridor sekolah, dengan lemah menuju gerbang sekolah. Dan yang semakin membuatnya kesal adalah dering ponsel yang tidak hentinya meraung ingin diangkat. Ia tidak perlu melihat layar ponsel untuk memastikan siapa yang menghubungi. Sudah pasti lelaki terusuh dan terenggak jelas dalam hidupnya, Bastian Wang Suryatama.

"Lamanya, Fi. Kamu kenapa? Habis lihat hantu?" Bastian langsung mencecarnya dengan pertanyaan ketika baru saja Fifi mencapai gerbang sekolah.

"Ya Allah. Kenapa coba Koko nanyainnya rentetan gitu?" kesal Fifi sembari menatap Bastian tajam

"Ya, kan, Koko khawatir kamu kenapa-kenapa. Secara dihubungin nggak jawab-jawab, nggak enak kali Sayang dicuekin," keluh Bastian dengan bibir yang lebih maju dari biasanya.

"Sok perhatian!"

"Emang perhatian, kamu ini aneh, deh. Saat cewek lain cari perhatian aku, kamunya malah ogah. Harusnya kamu bersyukur punya calon suami ganteng dan ramah kayak Koko. Emang Mas kamu yang mukanya kaku kayak batu," gerutu Bastian ketika keduanya sudah berada di dalam mobil yang perlahan melaju meninggalkan gerbang sekolah.

"Fifi kasih tau ke Mas Raka, neh," ancam Fifi.

"Nggak takut. Raka ini."

Fifi menghela napas lelah, ia nampak enggan menanggapi semua ocehan Bastian. Pikirannya masih melayang jauh ke masa di mana ia begitu percaya pada seseorang yang akhirnya hanya menorehkan trauma. "Ko..." panggil Fifi pada Bastian yang telahs berhenti bicara dan hanya fokus pada kemudi di tangannya.

"Iya, Sayang."

"Kalau orang menikah memang harus ngelakuin itu?" tanya Fifi to the point.

"Duh. Kamu straight to the point banget, nggak mau pakai basa basi dulu? Biar basi beneran."

"Seriusan, Kobas!!!" Kesal Fifi setengah berteriak.

"Kenapa? Kamu takut kalau Koko lubangin?" Bastian berucap dengan santainya tanpa peduli wajah Fifi yang sudah semerah kepiting rebus.

"Melakukan hal itu suatu keharusan, melayani suami itu suatu kewajiban. Tapi kalau setelah kita menikah, dan kamu belum siap untuk ngelakuinnya, Koko akan sabar nungguinnya. Nggak harus langsung begitu kok setelah akad. Kenapa?"

"Fifi mual tiap kali ingat adegan itu secara langsung," jujurnya dengan suara getinya.

"Masih ingat kejadian itu, ya?" tanya Bastian terdengar makin khawatir, di satu sisi ia sungguh khawatir dengan kondisi psikologi Fifi. Dan di sisi lain ia juga khawatir dengan kondisi masa depan pernikahan mereka nanti.

"Kalau nanti setelah kita menikah, dan ternyata Fifi masih trauma. Koko boleh kok menikah lagi, yang penting jangan teriak-teriak sampai Fifi mual."

"Daripada nikah lagi, mending nyembuhin trauma kamu. Aneh!" Kesal Bastian setelah mendengar ucapan Fifi.

"Kita lihat saja nanti," ucap Fifi begitu santai.

"Nanti kapan? Sekarang, kah?" tanya Bastian penasaran.

Plak!!!

Fifi memukul lengan berotot Bastian saking kesalnya. Bisa-bisanya lelaki oriental di sampingnya ini berpikiran liar seperti itu? Sekarang ia paham bagaimana bisa Bastian, Angga, dan Sasa bisa bersahabat. Mulut ketiganya kalau bicara sama-sama kacau. Sepertinya tidak ada filter di tenggorokan mereka bertiga, selalu lolos begitu saja semua kata-kata absurd dari mulut mereka.

"Hahaha...!!! Santai, Sayang. I'll be your medicine, cause you're important for me."

SAH!!! (Sampai Akhirnya Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang