Bab 12

700 38 0
                                    

Fifi sejak tadi hanya diam menatap layar ponselnya yang hitam, dia masih menunggu sosok itu menghubunginya. Tidak pernah menyangka jika pada akhirnya dia merindukan sosok usil dan mesum seperti Bastian. Lelaki yang di mata mahasiswa dan mahasiswanya begitu berwibawa, tetapi tidak jika sedang bersamanya. Wibawa itu seakan runtuh, tergantikan dengan sosok usil dan menyenangkan.

"Fifi kangen Kobas," lirih Fifi menatap kucing Persia peliharaannya yang ada di ranjang bersamanya.

"Putih, kamu aku foto, ya?" tanya Fifi pada sang kucing yang sebenarnya tidak bisa menjawab pertanyaannya selain mengeong.

Gadis itu mengambil foto kucing kesayangannya dan mengunggah ke akun sosial media miliknya. Tidak lupa sebuah keterangan foto dia sertakan, sudah pasti itu ditujukan untuk Bastian. Meskipun terdengar lucu, tetapi baginya lelaki oriental itu sudah seperti kucing garong yang selalu mengeong di hatinya.

Wajah murungnya telah tergantikan dengan binar senyum yang menampilkan gigi gingsulnya, membuat senyum Fifi terlihat lebih manis jika dipandang mata. Gadis itu sampai tertidur sembari memegang ponsel yang sejak tadi menemaninya, berdoa dan menunggu kabar dari sang rupawan.

Pekatnya malam telah tersingsing oleh cerahnya matahari pagi, membiaskan cahaya pelangi di setiap titik embun yang membasahi bumi. Udara pagi yang sangat segar, baik untuk berolahraga sebelum berangkat sekolah pikir Fifi. Gadis itu memilih untuk melakukan jogging di lingkungan perumahan tempat keluarganya tinggal, ditemani oleh Raka.

"Kamu yakin bisa LDR-an sama si kupret itu?" tanya Raka tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya pada kekasih sang adik.

"Kalau Fifi sih bisa aja, nggak tahu tuh Kobas gimana," jawab Fifi acuh tak acuh sembari berlari mendahului kakaknya yang hanya menggeleng pasrah melihat tingkahnya.

"Mas tahu gimana itu Tian, dia terkenal flamboyan. Belum lagi sahabatnya yang aneh-aneh itu, bisa rusak otak kamu kalau bergaul sama mereka."

Sedikit banyak apa yang Raka katakan memasuki alam bawah sadarnya, Fifi cukup tahu dengan track record lelaki yang jadi pasangannya. Belum lagi sahabat-sahabat Bastian yang absurd itu, patutlah Raka khawatir dengan keadaannya. Tetapi apa mau dikata jika hati telah menguasai diri, mengalahkan logika dan mengambil alih kendali atas semesta.

Cinta itu buta, mungkin benar, tetapi yang jelas cinta itu membahagiakan dan menyakitkan di saat yang bersamaan. Contohnya saja hubungannya dengan Bastian saat ini, dia bahagia karena dicintai oleh lelaki itu. Tetapi di sisi lain dia juga merasa sakit karena harus berjauhan dari pujaan hati. "Mas berharap kamu nggak terpuruk lagi aja, karena kalau sampai kejadian begitu lagi, Mas nggak tahu harus komentar apa. Entah itu memang nasib kamu, atau memang kamunya yang bego milih pasangan," sarkas Raka lebih dulu memasuki pekarangan rumah keluarga mereka dan meninggalkan Fifi terdiam seorang diri di depan gerbang rumah.

Sepertinya hari Fifi akan buruk, karena masih sepagian ini sudah diawali dengan sarkasme sang kakak. Kebetulan hari ini jugua hari terakhir Raka berada di rumah sebelum berangkat kembali ke tempatnya bekerja di Kalimantan. Dan di hari terakhirnya di rumah, Raka telah menorehkan kisah yang tidak mungkin dilupakan oleh Fifi.

"Vankenya, Mas Raka. Gue dikatain bego, wah, parah, nih!"

Setelah cukup lama terdiam, Fifi baru sadar dan memaki Raka sambil menyusul memasuki rumah. Lebih baik membuat keributan sepagian ini, daripada sepanjang hari hatinya merasa tidak senang dan penuh dengan caci maki untuk sang kakak. Sedangkan kedua orang tuanya hanya menggeleng melihat tingkah bar-bar putri tunggal mereka.

"Kenapa lagi?" Kinan menatap Fifi dan Raka bergantian setelah memasak nasi goreng untuk keluarga mereka.

"Ini, Ma. Mas Raka ngatain Fifi," adunya yang tidak dihiraukan oleh Raka sama sekali.

"Dikatain apa?" tanya Dirga penasaran dengan apa yang membuat kedua anaknya bertengkar di pagi hari begini.

"Nggak usah ngadu-ngadu Papa, kamu," sinis Raka memunum kopi panasnya.

"Biarin! Masa Mas Raka ngatain Fifi bego, Pa!"

Fifi menunjukkan wajah memelasnya, membuat Dirga terlihat sedikit marah pada Raka yang ternyata masih kekanakan. Dendam masa remajanya pada Bastian rupanya masih dia ingat sampai sekarang, bahkan memengaruhi hubungan yang dijalin antara Bastian dan Fifi. Menurutnya ini sudah keterlaluan, jadi lebih baik Dirga menegur Raka agar tidak melibatkan sang adik dalam dendamnya pada Bastian.

"Kamu itu kan sudah dewasa, masa iya masih ngebahas dendam masa SMA kamu sama Tian. Aneh deh kamu, Mas Raka," tegur Dirga menatap tajam putra sulungnya.

"Bukannya gitu, Pa. Bukan rahasia umum lagi kalau Tian itu playboy, lah masa iya ini Fifi mau jadi tumbalnya juga? Kan nggak lucu, Pa. Nih anak baru aja kena zonk sama si Rico itu, ya kali dia mau ngalamin hal yang sama lagi?"

Dirga diam, mencoba untuk mencerna apa yang dikatakan putra sulungnya. Sebenarnya tidak salah apa yang dikatakan oleh Raka, hanya saja mungkin cara penyampaiannya yang salah. Mana bisa menasehati orang yang tengah kasmaran, sama halnya dengan bicara pada orang yang tidak bisa mendengar. Akan sia-sia saja apa yang dia lakukan itu.

"Yasudah, Raka naik dulu mau siap-siap ke bandara. Ada sopir, kan, Ma?"

"Ada. Nanti Mama bilangin Bang Jali untuk antar kamu ke bandara," jawab Kinan menatap punggung kokoh Raka yang kini tengah menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2.

"Ma, kalau Bang Jali nganterin Mas Raka, terus Fifi, Rasya, dan Farrel ke sekolahnya gimana?" tanya Fifi sedikit protes.

"Iya, Rasya hari ini ada ujian kelas, Ma," ucap Rasya yang sejak tadi hanya menjadi penonton kedua kakaknya.

"Farrel juga," ucap si bungsu, Farrel, setelah menghabiskan segelas susu hangat miliknya.

"Kalian bertiga berangkat sekolah biar Papa yang anterin," akhirnya Dirga menjadi solusi untuk ketiga anaknya yang jika bersuara akan membuat kegaduhan di seantero rumah.

Sepanjang perjalanan dari rumah menuju sekolah, Fifi masih menatap layar ponselnya yang hitam. Tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pesan masuk dari Bastian, sekadar kabar jika lelaki itu telah sampai dan dalam keadaan baik-baik saja. Baru segini saja rasanya sudah sangat rindu, bagaimana jika harus berjauhan selama 2 tahun? Sepertinya hati Fifi menjadi kering kerontang tanpa kehadiran Bastian di sisinya

Tak berapa lama senyum terbit di bibirnya, menampilkan gigi gingsulnya ketika melihat ponselnya menyala. Layarnya yang hitam telah berubah menjadi berwarna, menampilkan sebuah pesan dari sang rupawan pemilik hati. Dengan pipi menggembung Fifi membuka pesan tersebut dan membacanya dalam hati.

"Aku sudah sampai, Sayang. Tapi ngantuk, jadi mau nemuin kamu di dalam mimpi dulu, ya. Mana tahu dapat mimpi mantab-mantab, hehe. Btw itu kenapa aku dikatain garong, ya?"

Fifi berusaha keras menahan agar tawa dan makiannya tidak keluar dari mulut jika tidak ingin mendapat ceramah panjang dari sang ayah. Bagaimana bisa dia begitu mencintai dan merindukan sosok mesum seperti pengirim pesan ini?

"Jangan buat aku jadi obyek mesummu, ya, Ko!"

Hanya sebuah emot berwarna kuning tersenyum menampakkan gigi-giginya yang dikirimkan oleh Bastian untuk Fifi. Membuat perasaan gadis itu menghangat, merubah harinya yang tadi kacau menjadi lebih berwarna. Meskipun lelaki itu diciptakan dengan takaran kemesuman yang nyaris melampaui batas, tetapi selalu ada keceriaan yang berhasil diciptakannya untuk orang-orang di sekitarnya. Itulah dia, Bastian Wang Suryatama.

SAH!!! (Sampai Akhirnya Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang