Bab 13

690 45 0
                                    

Waktu terus berlalu, dengan raga yang masih terpisah oleh jarak, Fifi dan Bastian terus berkomunikasi setiap harinya. Tidak ada sehari pun tanpa perdebatan yang terjadi di tiap panggilan video yang mereka lakukan. Karena selalu ada saja tingkah absurd Bastian yang membuat Fifi emosi.

Sama halnya seperti sekarang, mereka tengah melakukan panggilan video dan dengan tidak tahu malunya Bastian bertelanjang dada di depan kamera ponselnya. Sedangkan Fifi sudah berulang kali menyumpah serapah karena perbuatan kekasihnya ini. Bagaimana tidak menyumpah nyerapah jika lelaki di depannya memamerkan pahatan yang begitu indah.

"Koko bisa pakai baju dulu nggak sih?" protes Fifi merasa pipinya semakin panas terlalu lama melihat Bastian bertelanjang dada.

"Kenapa, sih? Aneh deh. Di saat cewek-cewek lain berharap lihat body aku yang seksi ini, kamu dikasih lihat malah marah-marah," Bastian semakin mendekatkan tubuhnya ke arah ponsel dan membuat pipi Fifi merona merah.

"Jangan macam-macam, ya, Ko!!!" ancam Fifi dengan jari telunjung mengacung tepat ke arah Bastian, memenuhi layar ponsel lelaki itu.

"Uduh uduh... Semacam aja Koko ini, yaitu mencintai Fiane Firselya Syailendra seorang, ehak," kekeh Bastian dengan meletakkan jarinya yang dibentuk seperti hati tepat di depan dada.

Fifi hanya bisa bergidik geli melihat lelaki tampan dan macho seperti Bastian berpose seperti itu. Dia hanya tidak pernah menyangka jika lelaki di depannya ini bisa bertingkah sangat konyol. Bahkan dengan sangat tidak malunya Bastian menunjukkan tanda lahir di daerah panggulnya, menampakkan sedikit rambut halusnya di bawah sana.

"Asli ini aku berasa nonton film porno tahu, nggak?"

"Kenapa gitu?" tanya Bastian ketika Fifi mulai membuang muka ke arah lain.

"Itu bulu apa, Ko? Dipamer-pamer," kesal Fifi masih memalingkan wajahnya ke arah lain dengan mengerucutkan bibir.

"Eh, kelihatan, ya? Hahaha... Nanti juga kamu lihat semuanya, sampe bawah-bawahnya lagi tanpa sensor," Bastian berulang kali tertawa melihat tingkah lucu Fifi karena pancingan yang sengaja dibuatnya.

"KOBAS!!!"

Bastian semakin tertawa lepas ketika mendengar suara melengking Fifi dari seberang sana. Rasanya begitu puas dan menyenangkan jika dia berhasil menggoda Fifi yang sedikit garang tidak jauh berbeda dengan sang adik. Biasanya dia lebih memilih untuk menggoda Sendy, yang kali ini harus dia tahan. Karena adik kecilnya itu tengah hamil muda dan ditinggal oleh Angga ke Singapura.

"Gitu dong, ngegas," ucap Bastian di sela tawanya yang tidak bisa dia kendalikan.

"Koko!!! Kamu ketawa kayak orang kesetanan, ya!" terdengar suara teriakan Lyna dari balik pintu kamar apartemen keluarga Suryatama.

"Iya, Mi! Nanti Koko lakban mulut dulu."

Tak berapa lama pintu kamar Bastian terbuka dan menampilkan wajah kesal Lyna karena tidak ditanggapi serius oleh putra keduanya. Dia berjalan cepat ke arah Bastian dan mendaratkan jitakan di kepala lelaki yang langsung mengaduh kesakitan karena jitakan sang ibu begitu keras. Untuk beberapa waktu Lyna masih menatap tajam Bastian sebelum dia menyadari ada wajah Fifi yang tengah meringis ngeri di layar ponsel putranya.

"Fifi? Kamu lagi video call sama Fifi nggak pakai baju begini? Tian! Tian! Gimana sih kamu ini umbar aurat ke anak gadisnya orang," omel Lyna kesal dengan tingkah absurd Bastian. "—Aduh, Fi. Maafin Tian yang aneh ini, ya," ucap Lyna kepada Fifi yang hanya mengangguk sedikit kurang nyaman.

"Koko pakai baju dulu sana!" perintah Lyna yang tidak bisa ditolak oleh Bastian.

"Fifi sudah dikasih lihat Tian apa aja tadi?" tanya Lyna kepo dan langsung duduk menghadapi ponsel Bastian.

"Itu dari tadi Fifi sudah nyuruh Koko pakai baju, tapi Kokonya malah ngeyel," keluh Fifi yang membuat Lyna menaikkan sebelah alisnya.

Wanita usia pertengahan itu merasa jika pertanyaannya belum terjawab, sehingga dia memutuskan untuk mengulang kembali pertanyaannya. "Jadi tadi sudah dikasih lihat apa aja?" ulangnya lagi dan berhasil membuat Fifi berulang kali mengerjapkan matanya.

"Koko tadi kasih lihat tanda lahirnya, tapi itu—"

"Nggak usah dilanjutkan, Fi. Tante sudah tahu apa yang ditunjukin Tian," ucap Lyna berdiri dari duduknya dan menghampiri Bastian ke walk in closet.

"Aduh... Aduh... Sakit, Mi. Kenapa Tian dijewer, sih?" protes lelaki itu di dalam sana, dan masih bisa didengar oleh Fifi dari balik sambungan panggilan video.

"Kamu tuh aneh-aneh, ya. Itu anak gadisnya orang kamu kasih lihat apa? Kalian itu belum nikah, jadi nggak usah aneh-aneh, deh. Mami nggak mau, ya, dituntut keluarga Pak Dirga Syailendra karena kamu ituin anak gadisnya," omelan panjang Lyna tak terhindarkan lagi, bahkan membuat telinga Bastian memerah panas.

"Tapi Tian emang nggak ada aneh-aneh sama Fifi, Mi," bela Bastian pada dirinya sendiri.

Sedangkan Fifi yang masih tersambung di seberang sana memilih untuk memutus panggilan video. Rasanya kurang nyaman mendengar ceramah panjang Lyna pada kekasihnya, dan memang benar apa yang dilakukan Bastian itu salah. Nekat sekali dia menunjukkan anggota tubuh yang nyaris membuatnya tidak bisa tidur semalaman.

"Kalau kayak gini kelakuan kamu, mending nggak usah balik dulu ke Jakarta deh sebelum lulus. Takut Mami kalau kamu ituin Fifi," Lyna bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi jika Bastian dibiarkan bertemu Fifi sebelum lulus kuliah.

"Ih, jangan gitu, lah, Mi. Pernah dengar nggak sih, Mi, kalau rindu itu berat?"

Lyna makin kesal dengan tingkah Bastian yang tidak pernah serius tiap kali dia marah. Selalu saja ada kalimat absurd meluncur dari bibirnya, dan entah itu didapatkan dari mana. Karena dia dan juga Chandra tidak seperti itu. "Mami angkat tangan deh nasihatin kamu, bandelnya nggak ketulungan," kesal Lyna berjalan meninggalkan kamar Bastian.

"Ngomelnya coba pakai bahasa Surabaya, Mi. Lama loh Tian nggak pernah dengar Mami ngomel gitu," kekeh Bastian merasa telah menang dari perdebatan panjang dengan ibunya.

"Ngomel ndasmu!!!" Lyna kembali berbalik ke arah Bastian dan mengacungkan kepalan tangannya ke arah sang putra.

Tawa Bastian kembali pecah melihat kekesalan Lyna sembari berlalu meninggalkan kamarnya. Dia sangat tahu jika sang ibu tidak akan pernah menang jika berdebat dengannya, berbeda dengan sang ayah. Chandra adalah sosok yang paling ditakuti oleh Bastian, karena pria usia pertengahan itu jarang sekali marah. Namun jika sudah marah, tidak ada seorang pun yang berani untuk melawannya. Termasuk Radian, sang putra sulung sekali pun.

SAH!!! (Sampai Akhirnya Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang