Bab 11

712 40 0
                                    

Perjalanan panjang dan melelahkan telah ditempuh Bastian dengan kedua orang tuanya. Dari Jakarta untuk sampai ke New York membutuhkan waktu yang cukup panjang, dan sekarang mereka tengah berada di sebuah negara Timur Tengah. Lelaki itu nampak tengah mengabadikan senyumannya tepat di sebuah boneka beruang besar. Sebuah ikon dari Bandara Internasional Hamad, Doha, Qatar. Setidaknya ada yang bisa dia pamerkan pada sang adik yang pasti sedang menangis karena ditinggal pergi jauh oleh kedua orang tua mereka.

"Ko! Foto terus kamu tuh!" tegur Lyna menghampiri putranya yang begitu sibuk berpose di depan kamera ponselnya.

"Mami mau ikutan, gak? Tian lagi mau manasin Amey, nih," kekehnya sembari merangkul Lyna untuk mengajaknya berfoto bersama.

"Ah, kamu ini. Mami ikut deh, tapi yang cantik, ya."

Chandra hanya menggeleng melihat tingkah istri dan anaknya, karena kedua orang itu tidak memiliki karakter yang jauh berbeda. Sedangkan Sendy, putri bungsunya entah mendapatkan karakter yang dimiliki itu dari mana. Sebenarnya jika hanya ingin melakukan tindakan medis pemasangan ring di jantungnya, Chandra tidak perlu sampai jauh-jauh harus ke Amerika. Di Jakarta, Surabaya, atau Singapura saja sebenarnya dia bisa. Tetapi karena harus menemani Bastian dan mengurus beberapa urusan bisnis, dia dan sang istri harus meninggalkan putri bungsu mereka di tanah air.

"Pi... Papi!!! Mau ikutan foto, gak?" teriak Bastian memanggil Chandra.

"Kamu ini, Ko. Yaudah, tapi Papi harus ganteng, ya."

"Siap, Pi! Papi ganteng kok, kalau Papi jelek sudah pasti Tian jelek juga dong," kekehnya berdiri di antara kedua orang tua sembari mengabadikan momen kebersamaan ini.

"Bagus, gak, Ko?" tanya Lyna melihat hasil jepretan putranya.

"Cantik, kok, Mi. Mau Tian kirim?"

"Boleh, deh. Nanti Mami upload di Instagram, biar dilihat teman-teman arisan Mami," kekeh Lyna menggandeng mesra lengan suaminya.

Keluarga mereka transit di Doha selama 4 jam, dan mereka lebih memilih untuk menjelajah bandara sembari membunuh waktu menunggu lama. Awalnya Bastian nyaris kalap mengikuti hobi ibunya yang terus ingin berbelanja, tetapi mengingat mereka akan kembali lagi nanti, jadi dia urungkan niatan tersebut. "Nyaris khilaf, bisa kurang duit buat sangjit," desahnya yang masih bisa didengar dengan jelas oleh kedua orang tuanya.

"Sangjit? Mau kasih ke siapa, Ko?" tanya Chandra penasaran.

"Fianne, Pi."

"Fifi, maksud kamu?" tanya Lyna memastikan.

"Iya, Mi. Tian sambil kuliah ini sambil nabung buat kasih sangjit ke Fifi," jujur Bastian pada akhirnya, karena sejak awal dia belum ada membicarakan perihat hubungan seriusnya dengan Fifi.

"Yah. Kemarin Amey aja gak dapat upacara sangjit, ya, dikasih sih. Cuma gak ada upacara apa-apa dari keluarga Wang," sesal Lyna karena beberapa tradisi keluarganya tidak dilakukan pada saat pernikahan putri bungsunya, Sendy.

"Mami kemarin gak siapin betul-betul, sih. Tapi kan yang penting Angga kasih banyak duit, aww... Kok dijitak, sih, Pi?"

"Asal ngomong kamu tuh. Jadi kamu sama Fifi itu sudah ada pembicaraan serius tentang pernikahan ini?" Chandra memastikan lagi, karena dia tidak ingin jika Bastian hanya mengumbar janji pada seorang gadis. Terlebih lagi jika keluarga mereka sangat mengenal sosok gadis tersebut.

"Tian sudah ada omongan sama Fifi, Pi. Kita nikahnya 2 tahun lagi, setelah Tian selesai pendidikan di US. Habis itu langsung deh, kita nikah."

"Yang penting kamu gak permainkan perasaan anak orang aja, Ko. Mami serem ngebayangin titi kamu ngamuk kayak kemarin ke Angga, duh," Lyna bergidik ngeri membayangkan jika Bastian akan dianiaya oleh Sendy karena menyakiti sahabatnya.

"Sumpah, gak, Mi, Pi."

Rupanya sejak diinterogasi oleh kedua orang tuanya itu, Bastian sibuk mengunggah fotonya di Instagram. Tidak lupa dia memberikan keterangan menarik sebagai pendamping unggahan fotonya yang berdiri tepat di depan boneka beruang besar berwarna kuning tersebut.

"Sekarang aku tersenyum di sini, padahal hatiku menangis karena merindukanmu."

Tak berapa lama ponselnya berdering, menampilkan nama gadis yang dia sukai di layar pemanggil. Senyum manis terbit di wajah tampannya, sedikit mengulur waktu untuk menjawab panggilan tersebut. Sepertinya Fifi sudah sangat merindukannya, padahal baru ditinggal beberapa jam.

"Halo, Sayangku, Cintaku, My Honey, Baby, Sweetyku..."

"Ampun, Ko. Jangan alay gitu napa?"

"Eh, sudah bawaan orok, Sayang. Kenapa? Kangen, ya?"

"Gak juga sih," jawab Fifi yang Bastian tahu jika gadis itu pasti tengah menahan senyum di seberang sana.

"Elah, gengsi. Kenapa gak video call aja sih?" tanya Bastian yang sangat ingin melihat wajah merah merona Fifi karena godaan yang dia lontarkan.

"Mana bisa, Fifi baru kelar mandi, Ko."

"Wew... Bagus dong, Sayang. Kan Koko jadi bisa lihat tampang kamu habis mandi gimana," kekehnya semakin geli membayangkan wajah kesal Fifi.

"Mulai kumat gilanya. Kobas gitu ya."

"Gitu gimana?" tanya Bastian bingung dengan ucapan Fifi barusan.

"Kobas gitu. Nyebelin. Masa nyampe di bandara Doha buat transit malah upload foto duluan di IG, tapi aku gak dikabarin," kesalnya.

"Ciyeh... Kesel nih, ye... Itu loh sengaja, Koko mau mancing kamu, Sayang," kekeh Bastian karena pancingannya akan emosi Fifi disambut dengan baik.

"Emangnya Fifi ikan?"

"Iya. Kan kamu kayak ikan yang menggelepar di atas tanah kalau gak ada air. Jadi kamu ikannya, Koko airnya. Simbiosis mutualisme, Sayangku."

"Video call, ya, Ko. Fifi sudah pakai baju nih," ajak Fifi yang minta untuk melakukan panggilan video dengan Bastian.

"Hai, Sayang. Sudah seger, ya, habis mandi?" senyum manis Bastian bagai gula aren yang begitu nikmat di mulut.

"Sudah. Kangen, pengen peluk," manja Fifi dengan wajahnya yang telah semerah tomat karena ini adalah untuk pertama kalinya dia bermanja dengan kekasihnya.

"Kalau jauh aja, baru manja-manja. Coba kalau dekat, pasti kamu cuekin, ditendang lah, dicubit lah, dijitak lah, dipukul lah. Gak ada manis-manisnya kamu tuh kalau aku dekat," kesal Bastian sedikit meluapkan isi hatinya dengan sikap semaunya Fifi padanya.

"Maaf. Habis Koko tuh bahasanya selalu nyerempet," jujur Fifi yang diangguki Bastian karena dia setuju dengan penilaian itu.

"Benar juga sih. Tapi Koko suka godain kamu, habisnya kamu terlalu kaku."

Lyna yang sejak tadi sibuk berfoto dengan sang suami, melirik sekilas ke arah putranya yang nampak tengah berbincang dengan seseorang di ponselnya. Sepertinya putra keduanya itu sungguh serius dengan ucapannya tadi. "Jadi beneran serius, ya, itu Koko ke Fifi?" tanya Chandra yang menyadari arah pandangan istrinya.

"Kelihatannya sih, gitu, Pi," jawab Lyna mengecup pipi suaminya.

"Semoga aja tuh bocah gak aneh-aneh, ya. Papi pusing ngadepinnya, gak enak juga sama Pak Saylendra. Dia anak anggota dewan, kan? Terus anak kita aneh-aneh tingkahnya," Chandra menggeleng-gelengkan kepalanya karena teringat akan semua tingkah absurd putranya.

SAH!!! (Sampai Akhirnya Jodoh)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang