Pilar Abi-1

144 18 1
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...

Selamat malam...

Selamat membaca😊😊

Jangan lupa tandai typonya ya

Ditunggu kritik dan sarannya

.
.
.
.
.

Rayyan-Rajendra-Bintang

____________________________________

Dinginnya angin subuh semakin membuat suasana terasa sesak. Seluruh santri membaca surah Yasin dan tahlil secara serentak dengan air mata yang membasahi wajah mereka. Mata memerah dengan suara serak pun mangawali hari ini.

Tidak berbeda jauh dengan kondisi di ndalem. Air mata tak kunjung surut dari tempat keluarnya. Tidak ada yang tidak menangis, tidak ada yang tidak merasakan kehilangan. Di saat salah satu panutan di pondok Darussalam kembali menghadap pada sang khalik. Belum genap satu tahun pondok Darussalam berduka karena ditinggal Umi Fatma, kini mereka harus kembali merasakan kehilangan karena ditinggal Abi Salman.

Malam tadi, tepatnya saat semua penghuni pondok dan ndalem bangun untuk salat malam. Semenjak Umi Fatma wafat, Abi Salman jarang untuk salat berjamaah bersama para santri di musholla, beliau lebih memilih untuk salat sendiri di dalam kamar. Setelah salat malam, Abi biasanya duduk di ruang tengah untuk sekedar bersantai atau menyimak bacaan Al-quran dari cucunya sembari menunggu waktu salat subuh. Tidak seperti biasanya, Gus Akhya yang merasa tidak enak pun segera bergegas ke kamar abinya. Diketuknya beberapa kali dengan mengucapkan salam,  tetap tidak ada jawaban dari dalam.

Gus Akhya pun mencoba membuka pintu kamar Abi Salman. Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru. Matanya tertuju pada Abi Salman yang terlihat tengah sujud. Gus Akhya pun memutuskan untuk menunggu Abinya, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika ia meninggalkan ruangan itu. Beberapa menit berlalu, hingga Gus Akhya kian merasakan sesuatu yang terasa menghimpit dadanya kala melihat Abi Salman belum bangkit dari sujudnya. Dengan perlahan, Gus Akhya melangkahkan kakinya untuk mendekat pada Abi Salman.

"Apa Abi tertidur?" batin Gus Akhya. Mencoba untuk memberanikan dirinya, Gus Akhya pun menyentuh pundak abinya pelan, namun tubuh Abi langsung limbung ke samping. "Astaghfirullah, Abi!!"

Gus Akhya segera memangku kepala Abinya. "Abi ... Bangun, Bi." Gus Akhya menepuk pelan pipi abinya. "Abi ... Jangan buat Akhya takut," lirihnya.

Gus Akhya meraih tangan Abi Salman, meletakkan ibu jarinya di pergelangan tangan Abi, belum yakin dengan pikiran yang timbul di pikirannya. Gus Akhya meletakkan jari telunjuknya di depan hidung Abi Salman. Seketika pundaknya meluruh. "Abi...," lirih Akhya.

"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun."

Bahu Gus Akhya bergetar, air matanya luruh tanpa diminta. "Abi...." Bibir Gus Akhya terus saja memanggil Abinya.

"Abi ... Akhya minta maaf, Bi." Gus Akhya mendekapnya dengan erat. Rasanya, jiwanya terpaksa dicabut saat ini. Tidak ada yang bisa ia pikirkan saat ini selain abinya. Kehilangan dua orang yang sangat ia sayangi dengan jangka waktu yang tidak lama. Membuatnya benar-benar terpukul.

"Astaghfirullahaladziim," lirihnya. "Ya Allah ... Astaghfirullahaladziim." Gus Akhya mencoba menenangkan dirinya dengan terus beristighfar. Dadanya terasa begitu sesak.

Saat mendongak, tidak sengaja Gus Akhya sekelebat melihat anaknya. "Rajendra ... Nak?" panggil Gus Akhya dengan suara seraknya.  "Rajendra...," panggilnya lagi.

Pilar AbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang