“Mbak, nanti saya ke rumah sakit, ya,” ucap Bu Puji lewat sambungan telepon.
“Iya, Bu, silakan.”
Kami hanya mengobrol perkara penumbalanku yang telah berhasil, tak terlalu lama akhirnya aku memutuskan untuk menutup sambungan telepon.
“Sania, aku sudah membayar semua administrasi.” Tiba-tiba Mas Bahar datang dengan sangat tergesa-gesa.
“Anak-anak tidak ikut?” tanyaku.
Ia menggeleng. “Tidak, biarkan saja! Ada Adrian di rumah.”
“Oh iya, Mas,” jawabku lirih.
“Kamu makan dulu, Sania.” Mas Bahar meraih bubur yang memang sudah disediakan untukku.
“Aku tidak ingin makan, Mas,” ucapku.
“Sedikit saja, satu sendok saja.”
Aku hanya menggeleng tidak mau.
“Perutmu masih sakit?” celetuknya.
Aku mengangguk perlahan.
“Mbak, Mbak.” Seorang wanita seumuranku lari tergopoh-gopoh.
Tak lain ia adalah Bu Puji.
“Bu Puji? Kirain nggak bakal ke sini,” ucapku, ia mendekat padaku dan Mas Bahar.
“Bagaimana kondisimu? Ini uang untukmu.” Mataku terbelalak, ia memberikan uang yang sangat banyak padaku. Aku yakin Mas Bahar akan curiga.
“Ini uang apa, ya, Bu?” tanya Mas Bahar padanya, Bu Puji tampak was-was.
“Oh ini, uang dari saya,” jawabnya terbata-bata.
“Sebanyak ini? Untuk apa, Bu? Kami punya uang untuk membayar semua pengobatan Sania,” ungkap Mas Bahar.
Aku berusaha memberi kode, bahwa Mas Bahar tidak tahu menahu tentang hal ini. Beruntung Bu Puji langsung paham dengan kodeku.
“Oh ya, syukur. Saya cuma takut kalian kekurangan uang,” ucap Bu Puji.
Aku, Mas Bahar, dan Bu Puji hanya membahas bagaimana janinku bisa hilang secara tiba-tiba.
“Kenapa hanya mimpi bisa menjadi kenyataan?” tanya Bu Puji.
“Tidak tahu, Bu. Entah apa yang dipikirkan Sania. Tapi, saya akan mencoba untuk mencari tahu tentang ini lewat orang pintar,” ungkap Mas Bahar, seketika diriku dan Bu Puji gelagapan.
Bagaimana kalau ia tahu taktik yang kujalani selama ini? Aku yakin nyawaku tak akan selamat.
“Untuk apa? Aneh saja kamu, Mas.” Aku mencoba untuk mengalihkan pikirannya.“Ya, aneh saja, ini pasti ada makhluk yang memang sudah niat untuk merasuki tubuhmu, Sania.” Ia mencoba terus menjawab dan membantah.
“Kamu tidak ingat kata dokter? Rahimmu bernanah dan berdarah,” tambahnya.
“Hal ini lumrah, kok, banyak orang yang mengalami hal ini. Yang penting, Mbak Sania selamat, jangan cari tahu ke orang pintar, sama saja musyrik.” Bu Puji lagi-lagi berbicara bohong.
“Saya nggak musyrik, Bu. Cuma pengin tahu aja. Karena ini juga harus lewat perantara, iya bukan?”
Ah! Mas Bahar memang tak ingin mengalah.
“Kemarin, kami baru saja ziarah ke makam Asih, tapi kayak ada yang aneh menurutku.” Lagi-lagi ia membahas sesuatu yang membuatku sedikit ketakutan.
“Mas, tolong jangan bahas hal itu. Bahas yang lain!” Aku mencoba membentaknya.
“Iya, kasihan Mbak Sania. Dia juga butuh dihibur, pasti sedih, kan, keinget dulu Asih meninggal. Iya, kan, Mbak?” timpal Bu Puji.
Aku mengangguk, mencoba merautkan wajah sedih.
“Ya sudahlah, aku mau pergi dulu. Bu Puji masih lama, kan? Aku mau makan siang dulu. Sania, sebentar saja, kok!” Mas Bahar bangkit dari tempat duduknya.
“Iya, udah sana!”
Bagus, Mas Bahar telah pergi, ini waktu yangku tunggu.
“Suamimu sudah pergi Sania,” bisik Bu Puji padaku.
“Ini uang untukmu, tapi belum sepenuhnya. Ada tambahan dan bonus lagi pastinya, tapi aku akan berikan setelah kamu keluar dari rumah sakit,” bisiknya lagi.
“Bu, janinku memang benar di bawa oleh jin itu?” Aku bertanya, untuk memastikan.
“Iya, itu benar. Tapi, aku terkejut, mengapa perutmu mengalami hal seperti itu?”
Aku pikir ia tahu, mengapa perutku dipenuhi oleh nanah dan darah.
“Aku tidak tahu, Bu, mungkin efek dari hilangnya janinku,” ucapku.
“Kamu tidak merasa kehilangan?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Tidak pernah, sejak awal aku tidak ingin janin ini. “
“Bagus, apakah kamu sudah cukup hanya menumbalkan anakmu?” Ia tampak sedang merasukiku untuk menumbalkan seseorang lagi.
“Aku kurang puas dengan hasilnya, Bu. Tapi, anakku sekarang tersisa 3 anak dan rahimku sudah tidak ada,” ungkapku.
“Satu anak saja sudah cukup, pilihlah satu di antara mereka dan sisanya kamu tumbalkan lagi. Dan aku akan pastikan hartamu tak akan habis.”
Diriku kembali bimbang dan gelap harta. Bagaimana bisa aku menolak tawarannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )
SpiritualKeluarga kecil yang tinggal di rumah sewa tepat di sudut kota besar. Dengan kesederhanaan membawa mereka untuk tetap terus bertahan di dalam keprihatinan. Sebagai sang sulung, Adrian adalah sosok anak-anak yang bertanggung-jawab kepada ketiga adik...