Satu

401 24 1
                                    

Langkahku terhenti tepat ketika dua pijakan lagi sampai di depan ruangan dengan pintu yang dibiarkan terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langkahku terhenti tepat ketika dua pijakan lagi sampai di depan ruangan dengan pintu yang dibiarkan terbuka. Itu berarti seseorang yang bukan mahram bagi Syifa sedang datang menjenguk. Akhirnya, aku putuskan untuk menunggu. Rasanya kurang sopan jika masuk begitu saja.

Satu menit terlewati aku belum mendengar percakapan apa-apa sampai akhirnya, ucapan Syifa menggema.

"Kakak memang lelaki pengecut dan tidak bertanggung jawab. Kakak bukan sosok lelaki baik yang selama ini aku kenal."

Aku mematung. Mencerna apa yang Syifa katakan. Tidak ada jawaban atau pun bantahan dari orang yang Syifa maksud karena setelahnya hanya isakan yang mendominasi. Aku masih menimang-nimang memutuskan masuk atau tidak. Di tengah kekalutan, tiba-tiba suara seseorang yang tidak asing terdengar jelas di telingaku.

"Saya akan menikahi kamu setelah bayi itu lahir."

Aku hampir saja kehilangan keseimbangan kalau bukan karena bertumpu pada kursi. Tidak mau membuang-buang waktu dengan perasaan yang tidak menentu aku bergegas masuk. Memastikan ucapan itu bukan dilontarkan oleh seseorang yang kucintai.

Dugaanku tidak bisa dibantah. Seketika bingkisan berisi buah-buahan segar yang masih bertengger di tanganku jatuh berhamburan. Aku benar-benar tidak menyangka, apalagi berani membayangkan jika kata-kata yang tidak pernah ingin aku dengar itu diucapkan oleh suamiku sendiri.

Dadaku terasa semakin sesak saat Mas Fatih tidak langsung mendekat. Secara terang-terangan Mas Fatih telah menghilangkan kepercayaanku terhadapnya.

Pertahankanku hancur. Aku luruh dengan air mata yang meluncur bebas. Aku hanya bisa menunduk dalam sampai akhirnya sosok Mas Fatih menyejajarkan posisinya denganku.

"Dik, dengarkan penjelasan Mas. Kita bicarakan masalah ini baik-baik," terang Mas Fatih memohon. Suaranya bergetar.

Momen yang biasanya aku tunggu-tunggu yaitu menatap lekat-lekat wajah Mas Fatih, tidak lagi aku inginkan. Untuk pertama kalinya aku merasa tidak mau melihat wajahnya walau hanya sekilas.

"Semuanya sudah jelas, Mas. Apa lagi yang mau Mas katakan?" tanyaku tegas. Masih di posisi awal yang tidak mau melihat ke arahnya. Tangan kekar Mas Fatih hampir saja menyentuh wajahku. Namun, aku segera mundur.

Mas Fatih menghela napas berat. "Lihat wajah Mas, Dik," pintanya. Terdengar putus asa.

Aku menggeleng. Melempar pandangan ke arah Syifa yang seperti tidak merasa bersalah sama sekali. Tiba-tiba, dia tersenyum penuh kemenangan.

Apa maksudnya?

Bergegas aku berdiri. Membelakangi Mas Fatih. "Semuanya sudah cukup dan jelas, Mas!"

Setelah mengatakan itu aku pergi dengan tergesa sampai beberapa kali menabrak orang-orang yang berlalu-lalang.

💉💉💉

Melihat mobilku memasuki pekarangan rumah, membuat sosok yang sepertinya baru saja sampai, mendekat.

"Dik, kita perlu bicara," ucapannya setelah mengetuk kaca mobil.

Aku menghela napas. Menoleh ke arah Mas Fatih. Tergambar jelas kesedihan di wajahnya. Rambutnya yang biasa tertata rapi, terlihat berantakan.

Aku mengalihkan padangan. Tidak. Jangan sampai aku luluh.

Baru saja kubuka pintu mobil, Mas Fatih langsung menghadang. "Adik habis dari mana? Kenapa tidak menjawab panggilan dari Mas?"

Apa iya aku harus mengatakan sejak pergi dari rumah sakit aku hanya menangis di dalam mobil dengan berjalan tak tentu arah seperti orang bodoh. Bahkan, hampir saja menabrak pengendara motor. Beruntung, aku berhasil menghidar.

"Bukan urusan, mas. Shanum capek. Jangan ganggu Shanum dulu," jawabku lemah.

Bukannya menyerah melihat kekacauanku, meski tak bersuara, Mas Fatih malah terus mengikuti. Membuatku semakin kesal.

"Mas, apa ucapan Shanum yang tadi kurang jelas?" tegasku. Tak mau menunggu jawaban, kuputuskan untuk segera masuk. Sayangnya, pintu lebih dulu terbuka dari dalam. Kemunculan bunda membuatku kelabakan.

"Lho, kenapa ini?"

Aku mencium tangan bunda. Mengindari tatapannya agar bunda tidak khawatir. "Enggak kenapa-kenapa, kok, bunda. Shanum masuk dulu."

Percakapan antara Mas Fatih dan bunda masih terdengar walau langkahku semakin dekat menuju kamar. Mas Fatih mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya ada kesalahpahaman. Semuanya akan baik-baik saja.

Aku baru tahu jika Mas Fatih pandai berbohong. Jangan-jangan selama ini Mas Fatih memang memiliki hubungan dengan Syifa?

Kepalaku benar-benar pusing. Aku terduduk lemas di tepian ranjang. Mengatur napas yang mulai terasa sesak kembali. Sampai suara ketukan terdengar beberapa kali.

"Dik, boleh Mas masuk?"

Percuma aku berkomentar karena tanpa menunggu persetujuan dariku, Mas Fatih tetap masuk. Aku memalingkan wajah. Sayangnya, gerak-gerik Mas Fatih masih bisa terlihat jelas dari kaca di depan. Aku memilih memejamkan mata.

Tak lama terdengar suara air dituangkan ke dalam gelas. Disusul langkah kaki yang mendekat.

"Minum dulu, wajah adik pucat sekali," pintanya terdengar khawatir.

Aku memilih diam dengan posisi semula.

"Dik, mas mohon jangan seperti ini. Dengarkan dulu penjelasan, mas."

Kedua tanganku mengepal kuat. Aku menatapnya lekat-lekat untuk mencari kebenaran. "Sebenarnya, apa mau Mas? Shanum harus bagaimana? Bukankah Syifa lebih penting untuk Mas? Tadi pagi mas baru saja mengatakan akan menikahi dia. Itu berarti Shanum enggak penting buat mas. Shanum enggak tuli. Apalagi hilang ingatan, Mas!"

"Tidak begitu, dik. Kamu istri mas, jelas mas sangat mengkhawatirkan kamu." Tak kehabisan cara, untuk yang kedua kalinya Mas Fatih hendak meraih tanganku. Namun, langsung kutepis.

Tangisku pecah bersamaan dengan kesadaran yang muncul bahwa di rumah ini bukan hanya ada aku dan Mas Fatih. Aku tidak mau membuat suasana di rumah ini menjadi kacau.

"Omong kosong! Mas Fatih bahkan enggak mencari Shanum," jelasku lirih.

"Dik, dengarkan mas. Mas menunda untuk mencari kamu karena salah satu pasien yang mas rawat kritis. Berkali-kali mas menelpon. Tapi, adik tidak menjawab. Mas bingung, akhirnya memutuskan untuk pulang. Memastikan adik sudah di rumah atau belum."

Aku melihat kejujuran dari ucapan Mas Fatih. Walau begitu aku tidak bisa menerima apa yang sudah terjadi. Ini benar-benar menyesakkan.

"Ada pasien kritis atau Mas yang tidak bisa jauh-jauh dari Syifa?"

Mas Fatih diam.

Itu berarti dugaanku benar.

💉💉💉

To be continued!

Cinta ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang