Menjelang zuhur, sesi berbelanja selesai. Sebelum menuju tempat makan, kami memutuskan untuk singgah solat zuhur terlebih dahulu di salah satu masjid terdekat.
"Biar Ara sama aku," pintaku. Sekali lagi, Syifa menoleh ke arah saf laki-laki. Belum ada tanda-tanda Mas Fatih akan beranjak. Lelaki itu masih khusyu dengan zikirnya.
Meski terlihat ragu, akhirnya Syifa menyerahkan Ara. "Jaga Ara baik-baik."
Aku mengulas senyum. Tentu. Membawa Ara ke pelataran masjid.
"Assalamualaikum Ara sayang." Aku mulai mengajak Ara berbincang meski tahu tidak akan ada jawaban. Sesekali mencium pipinya yang gembul. Sedang menggendongnya, wangi minyak khas bayi menyeruak memenuhi indra penciumanku.
"Nanti jika sudah besar, Ara boleh panggil tante, bunda. Ara sayang enggak keberatan, kan?" Tanganku membernarkan jilbabnya yang sedikit merosot. "Baik-baik ya nanti sama anak bunda. Kalian harus akur. Enggak boleh musuhan."
Lagi-lagi aku tersenyum membayangkan dua anak kecil bermain bersama. Membuat ramai seisi rumah. Sampai ketika usapan di pundak, menyadarkanku dari lamunan.
"Terima kasih sudah mau menerima Ara." Mas Fatih mengambil posisi duduk di depanku.
"Bukan hanya Ara, Mas. Syifa juga. Ara dan Syifa enggak bisa dipisahkan," tambahku. Masih fokus pada Ara.
Mas mengelus sayang puncak kepalaku. "Dik, jangan sungkan untuk terus mengingatkan jika mas mulai lupa diri."
Mataku mulai berkabut. Mendongak. Tatapan kami terkunci. Ada kilatan air mata yang juga terpancar dari kedua netra Mas Fatih.
"InsyaAllah. Mas juga jangan lupa untuk selalu ingatkan adik." Mas Fatih tersenyum. Satu tetes air mata berhasil lolos tanpa bisa dicegah. Buru-buru dia mengusap pipinya.
"Maaf, ya. Semenjak tahu adik hamil, mas merasa mendadak cengeng."
Aku menunduk. Pura-pura fokus sepenuhnya pada Ara untuk menghalau air mata yang masih menggenang agar tidak jatuh. "Kalau mau nangis, nangis saja mas. Enggak ada larangannya kok, laki-laki dilarang mengeluarkan air mata."
"Kecuali, air matanya bisa mengeluarkan mutiara. Baru adik akan melarang. Bisa-bisa mas dikerumuni banyak orang. Enggak mengeluarkan mutiara saja sudah dikerumuni. Apalagi sungguhan."
Terdengar kekehan kecil dari Mas Fatih.
"Kalau boleh jujur, kadang adik cemburu saat ada pasien yang masih muda atau saat beberapa suster dan anak koas yang seperti mencuri-curi pandang pada Mas. Kalau sudah begitu, rasanya adik pengen masukin mas ke kresek biar enggak ada yang lihat." Aku memberanikan diri menatapnya. "Maaf, ya, mas. Kadang adik suka ke rumah sakit cuma pengen lihat mas, terus pulang lagi, deh."
Pernah satu dua kali, tanpa sepengetahuan Mas Fatih, aku berkunjung ke rumah sakit hanya sekedar untuk melihatnya dari kejauhan. Jika ingin benar-benar bertemu aku sengaja mengantarkan makan siang. Di jam istirahat tentunya agar tidak menggangu pekerjaan Mas Fatih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Shanum
SpiritualMemasuki satu tahun pernikahan, tiba-tiba saja sebuah fakta terungkap. Shanum tidak pernah menduga jika Fatih berniat menikah lagi. Parahnya dengan perempuan yang selama ini sudah dianggap adik sendiri oleh Fatih. Mampukah Shanum menerima kehadiran...