Sekitar jam lima pagi, Mas Fatih baru menampakkan batang hidungnya. Katanya, ada kecelakaan beruntun yang membutuhkan banyak tenaga medis. Meski sudah dikabari dari awal, entah mengapa aku tetap saja merasa kesal.
"Kenapa sih Mas ngikutin terus? Bau tahu! Aku enggak suka nyium aroma rumah sakit dari baju Mas," kataku jengkel dengan posisi masih menutup hidung.
"Mas sudah bersih-bersih sebelum pulang. Bukankah adik tahu kebiasaan Mas?" Alisnya terangkat satu. Curiga.
Betul juga. Kenapa tadi aku tidak terpikirkan sampai kesitu.
Mas Fatih mendekat satu langkah. Wajahnya terlihat lelah. Pasti karena tidak tidur. Aku langsung mencegahnya mendekat kembali dengan menjulurkan tangan. Mas Fatih malah tersenyum.
"Apa yang harus mas lakukan agar adik bisa memaafkan Mas?" tawarnya.
Aku menghela napas. Tak lagi berselera mengucapakan selamat ulang tahun dan memberikan kue dengan kartu ucapan. Barakallah fii umrik calon ayah. Bahagia dunia akhirat. Padahal setelah solat subuh, aku sudah menyiapkan diri untuk menyambutnya dengan baik. Yang terjadi malah sebaliknya.
"Mau pergi ke suatu tempat?"
"Enggak!" tolakku cepat. Meninggalkannya begitu saja. Dari arah menuju dapur tiba-tiba Ghazi muncul. Jika dilihat dari penampilannya yang memakai hoodie yang dipadukan dengan kaos dan jogger pants, ditambah sepatu sneaker. Semuanya berwarna hitam. Tidak salah lagi dia akan lari pagi.
"Mau ikut joging?" ucapnya menyandarkanku dari lamunan. Jika saja moodku sedang baik, mungkin aku akan menerima tawarannya. Tentu mengajak Mas Fatih.
Kujawab dengan gelengan. Dia mengangguk sebelum berlalu.
Niatku yang turun untuk membantu bunda
menyiapkan sarapan, urung karena teringat kue berserta kartu ucapan yang sejak semalam masih tersimpan manis di meja kamar. Memang kuenya masih tertutup rapi, tetapi posisinya sangat memungkinkan mengundang perhatian Mas Fatih. Aku langsung putar arah. Berlari.Terlambat. Kartu itu sudah bertengger di kedua tangan Mas Fatih.
"Dik, benarkah mas akan menjadi seorang ayah?" tanyanya dengan suara yang bergetar. Sorot matanya berbinar-binar.
Aku mengangguk mantap. Tak kuasa menahan air mata haru. Betul kata Dita, akhir-akhir ini aku memang gampang menangis.
Perlahan Mas Fatih menghampiriku yang masih berdiri di ambang pintu. "Terima kasih banyak, dik. Ini hadiah terindah yang Mas dapatkan." Senyumannya merekah sempurna.
"Mas, maaf jika sampai saat ini Shanum masih berharap dan selalu berdoa agar Mas mengurungkan niat mas." Jawaban dariku malah membuatnya bingung.
"Shanum enggak mau anak kita memiliki dua ibu," ucapku lantang.
Suasana haru bercampur bahagia, berubah jadi menegangkan.
"Dik, maaf," katanya sebelum menunduk. "Mas memang suami yang jahat. Mas gagal menciptakan surga dalam rumah tangga kita."
Tiba-tiba Mas Fatih berlutut. "Maaf."
Aku menggeleng. Cepat menyejajarkan posisi. Tidak. Bukan respon seperti ini yang aku harapkan.
"Maafkan Mas." Mas Fatih terus meminta maaf. Hancur sudah pertahananku.
Hatiku hancur. Seperti jatuh berserakan melihat Mas Fatih terluka seperti ini.
"Mas, jangan terus meminta maaf. Dan jangan terus menyalahkan diri sendiri." Kuusap lembut punggungnya yang bergetar.
Ya Allah, jika memang jalan ini yang terbaik menurut Engkau, bantu kami untuk melewatinya.
"Kita hadapi sama-sama, ya."
Mas Fatih mendongak. Tatapan kami bertemu.
💉💉💉
Kami sepakat untuk tidak lagi membahas persoalan tadi pagi. Sama-sama menyiapkan diri untuk menghadapi hari esok. Tepatnya, aku berusaha untuk bisa menerima jika sebentar lagi, tinggal menghitung hari, Mas Fatih akan mengucapkan akad untuk yang kedua kalinya. Dalam hati aku terus berdoa agar memiliki hati yang lapang untuk menerima semuanya.
"Papa tidak bisa tinggal diam." Papa berdiri dari duduknya. Mama langsung menenangkan, mengajaknya duduk. Papa menurut.
Sengaja aku memilih tempat duduk di pojokan yang cukup sepi, agar tidak mengundang perhatian orang lain. Ada jeda beberapa saat ketika waiters membawakan pesanan.
"Seharusnya bukan kamu yang menjelaskan, sayang. Tapi, lelaki itu. Dia yang akan menikah, kenapa malah kamu yang menjelaskannya pada kami?" Suara papa kembali meninggi.
"Ini atas permintaan Shanum, Pa. Awalnya Mas Fatih memang bersikeras untuk menjelaskan secara langsung. Tapi, Shanum menolaknya." Aku sudah menduga respon seperti ini yang papa berikan. Aku paham betul, orang tua mana yang ikhlas melihat anaknya dimadu.
"Di mana dia sekarang? Papa ingin bertemu."
"Mas," lirih mama. Kembali memenangkan. Aku memang sudah lebih dulu memberitahu mama. Awalnya, mama syok. Tapi, aku terus meyakinkan bahwa aku baik-baik saja. Pada akhirnya, mama menyerahkan keputusan akhir kepadaku.
"Pa." Aku memberanikan diri menggenang tangannya yang terkepal di atas meja. Ada gurat kesedihan dari raut wajah tegasnya.
Papa pasti tidak menduga jika anak perempuannya yang sejak awal menolak dipoligami. Sekarang malah menyetujui. Allah memang Maha Membolak-balikkan hati.
"Shanum baik-baik saja. insyaAllah." Aku melirik bergantian pada dua orang terkasihku. Tersenyum meyakinkan.
"Bukan maksud Shanum tidak mendengarkan perkataan papa dan mama. Shanum tahu papa dan mama tidak mau melihat Shanum sedih." Suaraku mulai bergetar. "Pa, ma, doakan dan ridoi langkah yang Shanum pilih, ya."
Tidak. Aku tidak boleh menangis. Kedatanganku bukan untuk membuat papa dan mama mengasihani kehidupan rumah tanggaku. Aku harus tegar.
Papa menghela napas. Tak kunjung membalas genggaman tanganku. Menghantarkan kegelisahan. Papa, masih perlu waktu untuk bisa menerima keputusan putri kecilnya.
"Selalu sayang, tanpa perlu kamu minta. Kami selalu mendoakan yang terbaik." Bukan papa. Tetapi, mama yang menjawab. Disusul elusan tangannya.
Sesaat aku memejamkan mata. Berusaha menenangkan diri. Reaksi mama, cukup membuatku mantap untuk melanjutkan langkah.
💉💉💉
To be continued!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Shanum
SpiritualMemasuki satu tahun pernikahan, tiba-tiba saja sebuah fakta terungkap. Shanum tidak pernah menduga jika Fatih berniat menikah lagi. Parahnya dengan perempuan yang selama ini sudah dianggap adik sendiri oleh Fatih. Mampukah Shanum menerima kehadiran...