Dua Puluh Dua

120 10 0
                                    

"Mas, adik tahu adik salah enggak bilang dulu. Tapi niat adik baik. Adik cuma mau mas belajar berdamai dengan masa lalu mas."

Bukan tanpa sebab aku berani memutuskan untuk mempertemukan mereka. Setelah pertemuan tidak sengaja itu, malamnya Mas Fatih mengigau. Merancau menyebut nama ayah. Malam-malam berikutnya kembali terulang. Persis pagi tiba, Mas Fatih seolah menolak diungkit soal kegelisahannya. Aku pun memutuskan bersikap seperti tak ambil pusing.

Sekali lagi aku mengamati wajah serius Mas Fatih. Dia masih diam. Sejak masuk mobil, wajahnya tidak sedikitpun menoleh. Aku tahu dia sedang marah besar. Lebih tepatnya sedang berusaha meredam emosi.

"Adik enggak mau mas menjadi sosok pendendam. Adik cuma mau yang terbaik buat mas." Suaraku bergetar menahan tangis.

"Maaf." Aku tak lagi berkata-kata. Memberi waktu pada Mas Fatih. Aku sudah siap dengan kemungkinan yang akan terjadi. Yang terpenting aku sudah berhasil mempertemukan mereka. Karena jika tidak begitu, Mas Fatih akan terus menghindar. Meski pada akhirnya, Mas Fatih tetap pada pendiriannya.

Aku mengarahkan pandangan ke samping kiri. Mengamati suasana malam dalam diam. Tanpa sadar air mata malah meluncur. Buru-buru aku menghapusnya. Rasanya begitu menyesakan dada.

Sekilas ucapan papa tempo hari, muncul dalam benak. "Sayang, terkadang niat baik kita tidak bisa diterima begitu saja. Tapi ingatlah selalu Allah tidak pernah tidur. Dia melihat segala sesuatunya. Kebaikan akan menghasilkan kebaikan pula meski terkadang dengan jawaban yang berbeda."

Ucapan papa membuat dadaku terasa lebih ringan. Efek lelah setelah seharian beraktivitas perlahan-lahan membawa mataku untuk terpejam. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

Suara adzan subuh membangunkan kesadaranku. Aku menoleh ke samping kiri, kosong. Tidak ada Mas Fatih. Hatiku terasa hampa. Rasa sakitnya bertambah berkali-kali lipat ketika melihat sosok tegap itu meringkuk di kursi. Kakiku mendadak lemas seperti jeli. Untuk pertama kalinya semenjak kami menikah, Mas Fatih tidur di tempat yang berbeda meski kami berada dalam satu ruangan.

Mas Fatih berbalik arah menjadi berhadapan denganku yang mematung. Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka.

"Mas, kita perlu bicara," todongku. Aku paling tidak bisa di diamkan seperti ini.

"Terlalu pagi untuk membahas soal tadi malam," jawab Mas Fatih sedikit serak. Suara khas bangun tidur. Dia mengusap wajahnya.

"Lebih cepat lebih baik, Mas," bujukku.

"Mas sedang tidak ingin berdebat, Dik."

"Adik hanya ingin meluruskan, bukan mengajak mas berdebat."

Mas Fatih beranjak. "Tidak baik menunda solat."

Refleks aku menghadang langkahnya. "Tapi, Mas."

Belum sempat aku melanjutkan, Mas Fatih lebih dulu angkat bicara. "Shanum Diya Syakira." Mas Fatih menatapku dalam. Dari sorot mata juga raut wajah yang tidak menyejukkan seperti biasa, aku bisa melihat Mas Fatih begitu terluka.

"Saya tidak mau di saat emosi sedang menguasai membuat saya kehilangan kendali."

"Tolong beri saya waktu," katanya menghela napas berat. "Ini yang saya takutkan, kamu menjadi terlibat. Saya marah, benci, dan kesal pada diri saya sendiri. Sejak dulu, masa lalu itu tidak pernah mudah bagi saya. Pertemuan beberapa waktu lalu dan semalam membuat luka itu kembali muncul kepermukaan setelah sebelumnya susah payah saya menguburnya dalam-dalam."

Mas Fatih memutus kontak mata secara sepihak. Pergi begitu saja. Aku kehilangan keseimbangan. Luruh.

💉💉💉

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 3 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang