Tengah malam aku dibuat panik karena mendengar igauan Mas Fatih yang memanggil-manggil namaku. Tergesa aku menghampirinya. Ternyata tubuh Mas Fatih mengigil. Wajahnya juga sangat pucat. Apalagi suhu tubuhnya sangat panas.
Tanpa pikir panjang aku berlari ke dapur untuk mengambil air minum dan kompresan. Saking tidak berhati-hatinya, kakiku tidak sengaja tersandung meja. Aku meringis. Berhenti sejenak. Kembali melanjutkan langkah meski tertatih-tatih.
"Mas minum dulu," pintaku.
Mas Fatih membuka mata. "Adik," katanya dengan suara sangat pelan dan lemah.
Aku mengangguk mantap. "Iya, Shanum di sini mas."
Mas Fatih tersenyum. Meminum air yang aku sodorkan. Kusuruh dia berbaring kembali untuk segera dikompres. Kalau memang panasnya belum juga turun, aku akan membawaya ke rumah sakit.
"Kepala mas sangat pusing," keluhnya yang membuatku cemas bukan main. Tanpa sadar air mataku malah meluncur seolah-olah rasa sakit yang Mas Fatih derita, ikut aku rasakan.
"Jangan menangis. Mas baik-baik saja," jelasnya. Tersenyum meyakinkan.
Aku mengangguk lemah. Melihat ruang gerak Mas Fatih terbatas, membuatku merasa bersalah.
"Mas pindah ke tempat tidur saja. Di sini sempit."
"Adik tidak keberatan?"
Ya Allah, di saat sedang sakit pun Mas Fatih masih memikirkan pendapatku? Aku menggeleng tegas. Mas Fatih mengangguk. Tidak berkomentar apa-apa lagi.
Alhamdulillah, setelah tiga kali mengganti air kompresan akhirnya aku bisa menghela napas lega. Suhu tubuh Mas Fatih tidak sepanas tadi. Napasnya juga mulai teratur. Wajahnya mulai kembali terlihat menentramkan. Inilah sosok Mas Fatih yang kukenal. Seperti sejak pertama kali kami bertemu.
Aku ingat betul satu minggu sebelum Mas Fatih datang ke rumah untuk bertemu papa dan mama, ditemani oleh Ghazi dan Dita, kami sempat bertemu. Waktu itu aku sengaja mengajaknya bertemu menjelang waktu solat asar. Alasan utamaku mengajak bertemu karena ingin mengetahui bagaimana hubungannya dengan Sang Pencipta. Ketika azan berkumandang, Mas Fatih tidak berbicara apa-apa. Begitu juga dengan kami.
Baiknya memang saat azan berkumandang tidak ada yang mengobrol selain menjawab panggilan azan sesuai apa yang muazin lafalkan, kecuali pada kalimat hayya 'alash sholah dan hayya 'alal falah, ucapkan la hawla wa la quwata illa billah.*
Diam-diam, aku terus memperhaktikan. Sesekali Mas Fatih melirik benda bundar di pergelangan tangannya. Tepat ketika azan berakhir, tanpa basa basi lagi Mas Fatih mengatakan izin untuk solat terlebih dahulu.
Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum. Sampai kami menikah pun, Mas Fatih memang selalu menjaga solatnya agar tepat waktu. Tak jarang, dia juga yang membangunkanku untuk solat malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Shanum
EspiritualMemasuki satu tahun pernikahan, tiba-tiba saja sebuah fakta terungkap. Shanum tidak pernah menduga jika Fatih berniat menikah lagi. Parahnya dengan perempuan yang selama ini sudah dianggap adik sendiri oleh Fatih. Mampukah Shanum menerima kehadiran...