Dua Puluh

108 6 1
                                    

"Mas, bangun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas, bangun." Suaraku awalnya pelan. Tetapi karena tak kunjung ada tanda-tanda Mas Fatih bangun, kuulang yang kedua kali dengan nada cukup keras sampai akhirnya dia menjawab parau. Sebenarnya tidak tega membangunkan. Masalahnya, semakin kucoba untuk tidur, semakin ingin rasanya makan martabak keju.

"Itu saja? Atau ada tambahan lain?"

"Itu saja."

"Siap laksanakan." Mas Fatih menjawab semangat. Tercancar jelas dari raut wajahnya.

Sebahagia itukah Mas Fatih dengan kehadiran bayi ini? Aku mengelus sayang perut rataku.

"Tapi adik ikut," cicitku.

"Ini sudah malam. Adik tunggu di rumah saja, ya." Mas Fatih menghilang di balik pintu kamar mandi. Aku mengikutinya. Menunggu di depan.

"Baru jam sebelas, kok, mas. Boleh ya?" Todongku.

Mas Fatih masih diam. Berpikir. Wajahnya terlihat lebih segar setelah dibasuh air.

"Mas." Mohonku sambil mengatupkan kedua tangan.

"Baiklah kalau memang adik senang." Dia mengelus sayang kepalaku. Membuat kedua pipiku menghangat.

Untuk menghilangkan kegugupan aku balik bertanya. "Naik motor, kan?"

Rasanya sudah lama sekali kami tidak jalan bersama saat malam hari dengan kendaraan roda dua.

Mas Fatih tak lekas menanggapi. Langkahnya menjauh dariku. Mengambil jaket yang tergantung di stand hanger baju dekat lemari. "Dik, tidak baik banyak terkena angin malam. Apalagi, adik sedang hamil."

Wajahku sempurna tertekuk.

"Walau adik tidak memiliki riwayat asma atau alergi, udara malam yang dingin bisa membuat ibu hamil mudah mengalami gangguan pernapasan dan sejenisnya." Mas Fatih menghampiri. Membetulkan jilbab instanku. Lalu, memakaikan jaket yang tadi dia ambil. Gerak-geriknya tak lepas dari jangkauanku.

"Mas tidak mau adik kenapa-kenapa."

Benar juga apa yang Mas Fatih jelaskan. Dari pada terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih baik menurut. Mas Fatih pasti lebih banyak tahu mengenai kesehatan dibanding diriku.

"Jadi, mau ikut pergi naik mobil. Atau menunggu di rumah?" tanyanya sebelum mengambil kunci mobil.

"Ikut."

"Oke kita berangkat." Mas Fatih tersenyum. Senyuman yang terlihat lebih lepas dari sebelumnya.

Rasa kantuk mulai menyerang saat mobil melaju. Padahal sebelumnya, mataku segar sekali seperti di siang hari.

"Mengantuk?"

Aku mengangguk lemah. Mencari posisi nyaman bersandar pada jok mobil. Melirik Mas Fatih sekilas yang juga ternyata tengah memperhatikanku.

Cinta ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang