Sudah sepuluh hari Mas Fatih tidak sadarkan diri. Sepuluh hari yang rasanya seperti sepuluh tahun lamanya.
Aku tak pernah absen untuk menemani hari-hari Mas Fatih. Jika pun harus pulang, hanya sebentar. Selebihnya, aku lebih banyak menghabiskan waktu di dekat Mas Fatih. Aku tak ingin kehilangan momen saat Mas Fatih membuka mata.
Aku menutup mushap. Menyimpannya di meja. Sekarang, aku lebih banyak menghabiskan waktu membaca dan memahami ayat demi ayat Al-Qur'an.
As-Syifa, nama lain dari Al-Qur'an yang berarti penyembuh. Berharap, apa yang aku bacakan menghantarkan getar-getar positif kepada Mas Fatih.
"Mas enggak bosen tidur terus?"
Bibirku melengkung membayangkan momen saat Mas Fatih pura-pura tidur. "Mas enggak iseng kayak biasa, kan? Pura-pura tidur padahal udah bangun. Sengaja pengen buat aku ngomel-ngomel. Kata mas, mas senang lihat aku ngomel-ngomel. Itu tandanya aku perhatian. Beda kalau aku diam, dunia mas terasa hampa."
"Mas ingat kan kejadian yang membuat kita menjadi dekat?" Kedua tanganku menopang dagu. Serius mengamati wajah menyejukkan Mas Fatih. "Waktu itu di parkiran kampus mas hampir aja nabrak kucing. Tapi alhamdulilah sebelum hal buruk terjadi, kucing itu masih bisa aku selamatkan. Walau pada akhirnya kaki aku jadi korbannya."
"Aku masih ingat banget saat enggak sengaja lihat ekspresi wajah mas yang khawatir. Tapi tetap bersikap tenang. Dan setelah menikah aku baru tahu, ternyata itu bukan pertama kalinya kita ketemu. Tapi aku enggak pernah sadar. Ternyata, diam-diam mas suka tanya-tanya soal aku ke Ghazi."
Seperti yang sudah-sudah, belum terlihat tanda-tanda Mas Fatih akan merespon. Untuk mengusir kesedihan, aku kembali berceloteh.
"Kalau dipikir-pikir ternyata selama ini Mas Fatih jago menggombal, ya. Kok aku baru sadar. Luntur dong predikat yang bunda kasih buat mas. Dokter Antik yang katanya enggak pernah nyebut nama perempuan spesial di depan bunda, eh sekalinya nyebut besoknya langsung bawa bunda buat ketemu calon menantu." Aku terkekeh kecil. Lelaki seperti Mas Fatih memang antik.
"Aku suka, kok, mas. Sangat-sangat suka kalau sikap manis mas enggak diumbar ke sembarang orang." Suaraku melemah. Satu tetes air mata lolos begitu saja. "Mas bangun, ya? Gombalin aku sepuas yang mas mau."
Tak kuat, aku menenggelamkan wajah di antara telapak tangan. Aku sudah berjanji untuk tidak menangis di dekat Mas Fatih. Nyatanya aku gagal.
Sambil menghapus sisa-sisa air mata, kuputuskan untuk keluar. Menuju koridor rumah sakit menunggu kedatangan bunda. Setiap pagi, bunda yang rutin berkunjung. Sementara malam hari, mama dan papa yang menemaniku. Semenjak tahu kehamilanku, mereka tak pernah membiarkanku kemana-mana sendiri. Jika akan berpergian, harus selalu ditemani. Padahal, kondisi kami berdua baik-baik saja.
Pandanganku menyapu sekeliling. Koridor rumah sakit tak pernah sepi. Meski masih pagi, beberapa orang sudah hilir mudik. Tak begitu jauh dariku, terlihat seorang kakek menaiki kursi roda didorong oleh seorang perempuan muda, mungkin cucunya. Berjalan menuju ke arahku. Wajah sang kakek sangat riang sambil sesekali berceloteh. Begitupun perempuan itu. Sepertinya mereka akan menuju taman untuk mencari udara segar.
Saat mereka menghilang di tikungan, seseorang muncul. Dari kejauhan pandangannya terus tertuju padaku.
"Kenapa di sini?"
Aku tak menjawab, malah mengajukan pertanyaan. "Bunda mana?"
"Gue suruh bunda istirahat dulu. Semalam pulang dari sini, bunda demam. Ini gue bawa buah-buahan segar sama sarapan buat lo dari bunda," jelasnya.
"Makasih," jawabku lesu sambil menerima bingkisan yang Ghazi sodorkan. Tidak salah lagi, bunda pasti kelelahan karena sering pulang pergi dari rumah ke rumah sakit.
"Enggak usah sedih gitu mukanya. Orang sehat tiba-tiba sakit, itu namanya wajar. Kalau orang mati sakit, baru aneh. Udah mati kok masih bisa sakit."
Aku mendelik. Humor yang tidak lucu sama sekali. Aku merasa Ghazi tidak seperti biasanya. Dia terlihat serius. Tanpa permisi dia malah duduk di sebelahku menyisakan jarak di antara bingkisan yang kusimpan di tengah-tengah kursi.
"Tenang aja, bunda ditemani Teh Widia, kok."
Aku menghembuskan napas lega. Aku pikir Teh Widia belum kembali setelah dua hari pulang kampung. Sampai hari ini, terhitung sudah satu Minggu bunda menginap di rumah mama. Awalnya bunda menolak karena tidak ingin merepotkan. Tetapi mengingat kondisi bunda yang kurang memungkinkan jika setiap hari harus pulang ke Jakarta, akhirnya bunda bersedia menginap. Terlebih, jarak antara rumah mama dan rumah sakit tempat Mas Fatih dirawat hanya menghabiskan waktu sepuluh menit.
"Bantu Bang Fatih, Sha. Buat dia yakin bisa membantu Syifa dan anaknya tanpa harus menikahi Syifa."
Aku menoleh. Ghazi tipe orang yang tak suka basa basi. Jika ada hal penting yang ingin dibicarakan dan situasinya dirasa sudah pas, dia akan langsung mengungkapkannya.
"Lo tahu?"
Ghazi mengangguk. Membuka topi yang sejak tadi bertengger di kepalanya. "Setelah pemakaman Tante Khadijah, gue enggak sengaja mendengar percakapan mereka."
"Bantu dia untuk memaafkan masa lalunya, Sha. Gue tahu niatnya baik. Tapi, menolong kehidupan orang lain, bukan berarti harus menghancurkan kebahagiaan yang sudah dibangun."
Mataku kembali berkaca-kaca. "Thanks, Zi. Gue sangat bersyukur Allah hadirkan lo di kehidupan gue. Bunda pasti bangga punya anak kayak lo."
Ghazi tersenyum. "Jelas, bunda pasti bangga punya anak paket komplit kayak gue."
Aku geleng-geleng kepala.
Aku tidak tahu jika lelaki itu bukan Ghazi, mungkin dia memilih menghindar, bersikap tidak suka secara terang-terangan atau mungkin pura-pura tak mengenal. Apalagi, aku malah menjadi kakak iparnya. Dulu, Ghazi sempat mengatakan ingin mengenalku lebih jauh yang berakhir penolakan olehku. Meski demikian, dia menerimanya dengan lapang dada. Sejak awal mengenal Ghazi, aku memang hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Tidak lebih.
"Gue pulang dulu, ya."
Ucapan Ghazi menyadarkanku dari lamunan. Aku mengangguk.
"Kalau ada apa-apa soal Bang Fatih, langsung hubungi gue," pesannya yang kujawab dengan hormat seperti yang dilakukan oleh para tentara.
Sekembalinya ke ruang rawat Mas Fatih, aku mengambil posisi duduk di dekatnya. Tak ada kata yang kuucapkan. Hanya memandangi wajah putihnya yang terlihat pucat. Lama memandanginya membuat mataku terasa berat. Sepertinya, aku akan memasuki alam mimpi.
Saat terbangun, posisiku berada di kamar. Tatapi ada yang berbeda. Ini kamar tamu. Bukan kamar yang biasa aku tempati dengan Mas Fatih. Perasaanku mendadak tak enak. Suara bising dari bawah memaksaku untuk menuju asal suara.
Belum sempat menuruni anak tangga, kakiku mendadak berhenti. Kehilangan tenaga untuk berpijak. Kalau bukan karena berpegangan pada tangga, mungkin aku sudah luruh.
Mas Fatih dan Syifa duduk saling bersebelahan dengan menggunakan pakaian yang biasa digunakan oleh sepasang pengantin.
Kepalaku menggeleng tegas disusul air mata yang meluncur. Tidak. Tidak mungkin Mas Fatih menikah dengan Syifa.
"Mas Fatih!" Aku terbangun dengan keringat juga air mata yang bercucuran. Tadi hanya mimpi. Tetapi seperti nyata. Mas Fatih masih ada di posisi semula. Tertidur dengan tenang.
"Shanum percaya mas pasti bisa mengambil keputusan yang tepat. Seperti bagaimana mas membuat Shanum yakin untuk memilih mas," terangku masih dengan posisi menunduk dan memejamkan mata. Tak berani menatap Mas Fatih. Baru saja aku berbalik, aku merasa ada sesuatu yang menarik ujung kerudungku. Aku menoleh.
Kedua netra Mas Fatih sempurna terbuka.
💉💉💉
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Shanum
SpiritualMemasuki satu tahun pernikahan, tiba-tiba saja sebuah fakta terungkap. Shanum tidak pernah menduga jika Fatih berniat menikah lagi. Parahnya dengan perempuan yang selama ini sudah dianggap adik sendiri oleh Fatih. Mampukah Shanum menerima kehadiran...