Sembilan

212 13 0
                                    

Satu bulan berlalu akhirnya tangan Mas Fatih sudah bisa lepas dari gips, meski belum diperbolehkan untuk banyak beraktivitas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu bulan berlalu akhirnya tangan Mas Fatih sudah bisa lepas dari gips, meski belum diperbolehkan untuk banyak beraktivitas. Selama itu pula karena mempertimbangkan kesehatan Mas Fatih, susah payah aku menahan diri untuk tidak membahas soal niatnya menikahi Syifa.

"Dik, terima kasih sudah merawat mas dengan baik sampai mas bisa cepat pulihnya."

Aku tak menanggapi. Hanya tersenyum. Tepatnya, malu. Ada Dokter Adam di antara kami. Saat ini kami sedang berjalan di koridor rumah sakit menuju parkiran. Mulai besok Mas Fatih kembali beraktivitas seperti biasa setelah mengambil cuti sakit.

"The power of pasangan halal memang enggak ada tandingannya. Apalah daya gue yang masih belum memiliki pasangan halal."

"Makanya cepat nikah," seloroh Mas Fatih.

Dokter Adam tertawa. "Maunya, sih, begitu. Tapi perempuan yang mau dihalalkan lebih memilih teman sesama koasnya. Gue yang cuma seorang dokter residen bisa apa?"

Aku memilih menjadi penyimak. Sebelumnya, Mas Fatih memang sempat bercerita mengenai penyebab perkelahian Dokter Radit dengan anak koas itu. Kasihan Dokter Adam jadi insecure begitu. Padahal, tingkatan dokter residen di atas koas.

Dulu, papa sempat bercerita bagaimana prosesnya selama menjadi dokter residen sampai akhirnya resmi menjadi dokter spesialis mata. Saat menjadi dokter residen, ada tiga tahap yang harus dilalui. Yaitu tahap dasar, menengah, dan mandiri. Saat tahap dasar diberikan pembekalan yang masih mendasar dan ditempatkan di rumah sakit pendidikan utama.

Berlanjut pada tahap menengah mulai diperbolehkan melakukan perlayanan walau masih ditempatkan di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit jejaring. Semantara residen tahap mandiri, mereka sudah diperbolehkan ditempatkan di rumah sakit selain rumah sakit pendidikan dan jejaring. Tentunya dengan tetap diawasi.

Nah, Mas Fatih dan Dokter Adam sudah berada di tahap mandiri. Jadi setelah menjadi istri Mas Fatih, aku tidak kaget lagi jika dia jarang berada di rumah.

Mas Fatih menepuk pundak Dokter Adam. "Tenang. Masih banyak perempuan-perempuan lain yang mengantri untuk segera Dokter Adam halalkan. Dokter Adam tinggal pilih saja mau yang mana?"

"Aamiin." Dokter Adam menyapu kedua telapak tangannya ke wajah. "Lo, ya, mentang-mentang ada istri, jadi formal gitu pakai panggil gue dokter segala. Biasanya juga lo, gue."

Mas Fatih tertawa. Begitu juga Dokter Adam. Keduanya terlihat sangat menikmati. Sesekali mereka menjawab sapaan dari suster atau dokter yang berseliweran. Sampai tidak terasa kami sudah tiba di lobi. Dokter Adam pun pamit menuju kantin. Kebetulan ini sudah jam makan siang.

"Kita ziarah dulu, ya, ke makam ayah dan Dokter Radit." Raut kesedihan tergambar jelas di wajah Mas Fatih. Padangannya lurus ke depan.

Aku menatap nanar ke arah dahi sebelah kiri Mas Fatih yang terdapat bekas luka jahitan akibat kecelakaan dua bulan yang lalu. Bagaimana pun juga Mas Fatih berada dalam mobil yang sama dengan Dokter Radit saat kecelakaan itu terjadi.

Cinta ShanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang