𝟎𝟐 | 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐝𝐮𝐚

834 118 8
                                    

Singkat cerita,

Mereka menghabiskan waktu mengobrol bersama sampai akhirnya Jennie harus pulang karena sudah dijemput kekasihnya.

Satu persatu dari mereka pun mulai berpisah.

"Sooya, apa kau yakin ingin kutinggal?" Tanya Joshua khawatir.

Jisoo tersenyum. "Iyya tidak apa-apa. Aku juga harus ke perpustakaan untuk meminjam beberapa buku."

"Baiklah, jika ada apa-apa hubungi aku, oke." Ucap Joshua kemudian pamit pergi.

Setelah sosok Joshua hilang dari pandangannya, Jisoo langsung berjalan menuju perpustakaan.

Tangannya menyusuri rak demi rak untuk mencari buku yang ia inginkan.

"Oh– ini dia buku yang kucari." Jisoo mengambil sebuah buku tebal di rak depannya.

Tepat setelah Jisoo mengambil bukunya, terlihat dengan jelas ada orang dibalik rak tersebut. Mata mereka pun spontan bertemu.

Laki-laki dingin tadi.. Batin Jisoo dengan perasaan senang?

Dengan cepat, laki-laki tersebut memalingkan wajahnya. Tak ingin lama-lama melakukan kontak mata dengan Jisoo.

"Em.. aku ingin minta maaf tentang tadi pagi.." Imbuh Jisoo langsung sebelum laki-laki tersebut pergi. Tanpa menoleh, ia hanya mengangguk. Mengisyaratkan bahwa ia sudah memaafkan Jisoo.

Sesaat sebelum laki-laki tersebut beranjak pergi, Jisoo langsung secepat kilat mendatanginya dan berdiri di hadapannya,

"A-aku Jisoo," Jisoo mengulur tangannya dengan niat berkenalan.

Mata laki-laki tersebut menatap Jisoo lama, tak lupa dengan wajah datarnya.

"Hae in." Balas laki-laki bernama Hae in tersebut diikuti tangannya yang mulai menjabat tangan jisoo.

Deg.. Deg..

Jisoo tidak bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia senang sudah berkenalan dengan Hae in.

"B-baiklah.. salam kenal Hae in.. Senang berkenalan denganmu," Pipi Jisoo bersemu merah saat mengatakannya.

Cantik. Itulah satu-satunya kata yang terlintas di pikiran Hae in ketika melihat Jisoo.

Hae in melepas jabatan tangannya.

"Hm." Respon Hae in dengan tatapan yang masih terkunci pada Jisoo.

Apa ada sesuatu di wajahku...? Batin Jisoo tak tenang dan mulai keringat dingin karena tatapan Hae in. Ini sungguh membuatnya gugup.

Menyadari Jisoo yang mulai terlihat salah tingkah, membuat Hae in langsung mengalihkan pandangannya.

"Aku harus pergi." Pamit Hae in berjalan melewati Jisoo.

Setelah kepergian Hae in, Jisoo langsung terduduk lemas. Ia tidak menyangka bahwa ia akan menemukan pria yang sungguh tipe idealnya.

Jisoo kembali ke apartemennya setelah selesai meminjam buku di perpustakaan.

Dengan lemas, Jisoo membaringkan badannya langsung diatas kasur. Wajah Hae in adalahhal pertama yang keluar dari pikirannya.

Aku ingin mengenalnya lebih jauh..

Di tempat yang berbeda, kediaman Jung.

"Permintaan mommy hanya satu, dan kau tidak bisa mengabulinya??" Seorang wanita berumur 50 tahunan dengan penampilan elegan yang tetap terlihat anggun sedang mengomeli anak satu-satunya tersebut.

Helaan pasrah datang dari anaknya. "Aku sudah bilang kesekian kalinya.. aku tidak ada rencana untuk menikah."

Wajah ibunya memerah. Menahan emosinya mati-matian. "Apa kau akan menunggu mommy-mu ini mati baru kau akan menikah?!"

"Sampai aku mati, aku tidak ada niatan untuk menikah—

"JUNG HAE IN." Tegas ibunya penuh emosi. Kesabarannya sudah habis.

Hae in memijat pangkal hidungnya pelan. Ia sudah berkali-kali berdebat dengan ibunya hanya masalah pernikahan.

Mata ibunya mulai berkaca-kaca. Hae in tidak tahu.. tidak tahu bahwa ibunya ini tidak punya waktu lama lagi. Seandaikan ia tahu..

"Jika kau masih keras kepala begini.. kau sangat mengingatkanku pada ayahmu." Decak ibunya.

"Aku anaknya, tidak menutup kemungkinan sifatnya turun padaku." Ucap Hae in dengan tampang datarnya.

Ibunya berjalan mendekat kearahnya. "Sekali lagi dan yang terakhir kalinya..." Mohon ibunya,

Terakhir kalinya? Batin Hae in bingung.

"Jika aku tidak bisa melihat cucu-ku kelak, setidaknya biarkanlah aku melihat anakku menikah." Lanjut ibunya dengan tatapan penuh harap.

Deg.

Hae in merasa bahwa ia harus mengabuli permintaan ibunya kali ini.

Bohong jika ia tak peduli setiap melihat ibunya marah-marah dan menangis karenanya.

Ia hanya tidak ingin menikah. Setidaknya tidak sekarang.

Dengan senyuman khas-nya, ia akhirnya setuju. "Baiklah. Aku akan menikah."

Mata ibunya membulat sempurna, sedetik kemudian ia langsung memeluk anaknya tersebut. "Sudah kuduga, kau memang putraku. Kau tidak akan membiarkanku sedih."

Hae in membalas pelukan ibunya. Ia takut kehilangan satu-satunya sosok yang sangat menyayanginya seperti ini.

Ketika ibu Hae in sibuk mengabari teman-temannya dengan semangat mengenai anaknya yang akan menikah, Hae in disibukkan juga dengan pikirannya sendiri.

Siapa yang akan ia nikahi..?

"Sayang, apa perlu ibu carikan calonnya untukmu?" Tawar ibunya.

Mungkin itu adalah saran yang bagus. Ia tidak perlu sibuk mencari calon istrinya.

Hae in mengangguk.

Ibunya tersenyum lebar. Sangat lebar. Tidak ada yang membuatnya lebih senang selain melihat putranya yang akhirnya setuju untuk menikah.

Keesokan paginya.

Di universitas, kelas sastra.

"Hey, apa kalian sudah dengar dosen barunya?"
"Dia sangat tampan~"
"Kudengar dia masih lajang juga, hahaha~"
"Aku menantikannya masuk astaga!"
"Daebak dia dosen paling tampan yang pernah kulihat."

Suasana kelas hari ini lebih berisik dari biasanya.

Tentunya karena satu topik, "Dosen baru yang sangat tampan"

"Jisoo, kau sudah dengar tentang dosen yang dirumorkan sangat tampan itu?" Tanya Jennie yang sebenarnya juga penasaran dengan dosen yang sudah menjadi hot topik di kelasnya.

Bahu Jisoo terangkat. "Ntahlah, aku tidak tahu apa-apa."

𝐌𝐲 𝐂𝐨𝐥𝐝 𝐋𝐞𝐜𝐭𝐮𝐫𝐞𝐫 𝐢𝐬 𝐌𝐲 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝 ✨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang