𝟏𝟎 | 𝐅𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐬

435 73 12
                                    

Tepat sebelum Jisoo hendak menitipkan pesan pada pelayan, Joshua telah selesai dengan panggilannya.

"Sooya, kau mau kemana??" Tanya Joshua langsung mendatangi Jisoo yang sudah memegang tas-nya dan menjauh dari meja makan mereka.

"Shua, aku ada janji dengan seseorang.."

Joshua langsung mengernyit. "Dengan siapa?" Dia masih ingin membahas permasalahan tadi. "Sooya! Kau tidak akan kemana-mana sampai aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Ayolah, masih ada yang harus kita bahas, Sooya.."

Mata Jisoo melihat ke sekeliling, mungkin ia harus menampar Joshua agar sadar bahwa pembicaraan ini sudah selesai dan memperjelas bahwa ia tidak akan pernah menikahinya.

Tidak. Jisoo terlalu baik untuk melakukan itu.

"Shua.. Maaf tapi aku harus pergi.."

GRAB..!

Joshua menahan tangan Jisoo dan menariknya kembali ke kursi.

"Aa—! Shua..! Lepaskan–! Aah—

—GRAB!!

Tangan Joshua dicengkram dengan kerasnya. "Apa telinga kau tidak berfungsi lagi? Dia bilang, lepaskan."

"H-hae in..?!" Mata Jisoo berbinar melihat calon suaminya datang tepat pada waktunya. Tangannya juga sudah terlepas dari Joshua. Tentunya berkat Hae in.

Joshua menatap Hae in penuh emosi. Jadi ini pria yang akan Sooya nikahi..

Mata Hae in melirik lengan Jisoo yang terlihat meninggalkan jejak cengkraman dari Joshua. Alisnya bertaut. Tak suka melihatnya.

"Apa kau mau aku memukulnya?"

"Hah? A-apa maksudmu?" Jisoo tergelak mendengar tawaran Hae in.

"Sebagai balasan yang ia perbuat padamu."

"T-tidak apa-apa.. sebaiknya kita pergi saja." Oh Tuhan, Jisoo tidak mau menarik lebih banyak perhatian lagi.

"Hm, baiklah. Berada di satu tempat dengannya hanya akan merusak mood-ku." Ucap Hae in sembari mengambil tangan Jisoo untuk segera pergi darisana.

Melihat Jisoo yang dibawa Hae in seenaknya membuat Joshua emosi. "Hey siapa bilang dia boleh pergi?!!" Ia menarik kembali lengan Jisoo dengan paksa hingga terlepas dari Hae in.

"Aakh—!!" Ringis Jisoo.

Sekarang lengan Jisoo benar-benar memerah, karena kuatnya cengkraman Joshua.

Merasa adrenalinnya naik, tanpa sadar emosi Hae in lepas,

"GdBbukkh—!!!"

Hae in memukul wajah Joshua dengan keras dan langsung membuatnya terhuyung sampai terjatuh. Jisoo yang shok melihat hal tersebut, langsung menarik Hae in pergi.

Ia tidak ingin sesuatu yang lebih parah terjadi lagi.

Joshua hanya diam mematung melihat kepergian Jisoo dan calon suaminya. Hanya wajahnya yang bisa menggambarkan emosinya saat itu. Amarah.

.

Dengan gerakan cepat, Hae in membukakan pintu mobilnya untuk Jisoo. Tanpa pikir panjang juga, Jisoo masuk kedalam dan duduk dengan gugup.

Beberapa kali Jisoo mencuri pandang kearah Hae in. Ia terlihat sangat marah. Bahkan rahangnya terkatup rapat.

Hae in melajukan mobilnya dengan kecepatan diatas rata-rata.

Astaga apa dia sudah gila?? Sialan jika aku berteriak hanya akan membuatnya semakin emosi.. Tunggu, kenapa jadi dia yang emosi? Jisoo meremas sabuk pengamannya dengan kuat.

Menyadari kegusaran Jisoo dengan kecepatan mobilnya sekarang, Hae in memelankan laju mobilnya dan memarkirkannnya di sebuah rest area.

"Maaf."

Jisoo menoleh kearah Hae in dengan bingung. "Eh kenapa minta maaf??"

"Maaf aku tidak bisa mengontrol emosiku." Sesal Hae in serius.

Jisoo terkekeh kemudian mencubit pipi Hae in pelan. "Iyaa dimaafkan." Ucap Jisoo gemas dengan Hae in. Kau tidak tahu betapa senangnya aku ketika melihatmu ada disana dan membawaku pergi..

Tak menyangka dengan respon positif Jisoo, Hae in hanya diam meneliti Jisoo yang tengah tertawa.

"Kau tidak berubah sama sekali.." Gumam Hae in.

Setelah sadar ia baru saja mencubit pipi Hae in, Jisoo langsung memalingkan wajahnya. "KYAAA! Aku pasti sudah gila!!" Batin Jisoo histeris dengan wajah yang semerah tomat.

Cahaya lampu redup di rest area masuk menyinari dalam mobil, namun hal tersebut sama sekali tidak menutup kecantikan Jisoo.

Hae in menatap wajah Jisoo yang merona, "Jisoo."

Dengan gugup, Jisoo menoleh kearah Hae in sambil meneguk salivanya kasar. "Sialan, dia tampan sekali." Batin Jisoo menahan kegugupannya.

Tanpa sadar, tangan Hae in terangkat dan mengelus lembut pipi Jisoo. "You look beautiful tonight." Puji Hae in menatap Jisoo tulus.

Deg! Deg!

Deg! Deg!!

Degupan jantung Jisoo menggila. Sekujur tubuhnya mulai terasa panas. "K-k-Kau selalu.. membuat hatiku berdegup kencang seperti ini.." Ungkap Jisoo.

Hae in terdiam. Bukannya ia tidak paham ucapan Jisoo, hanya saja ia kaget dengan kejujuran Jisoo.

"—AH!!!" Jisoo dengan cepat menjauhkan wajahnya dari elusan tangan Hae in. Sepertinya kewarasannya baru kembali. A-apa yang baru saja kukatakan pada Hae in??!!!

Oh Tuhan, tolong bunuh aku sekarang!!!

Melihat Jisoo yang masih salah tingkah dengan perbuatannya sendiri membuat Hae in terkekeh gemas.

Ia benci untuk mengakuinya, bahwa ia benar-benar mulai takut mempunyai perasaan pada gadis dihadapannya tersebut.

Tidak akan kubiarkan perasaan bodoh ini menang.

"Jisoo, sekali lagi aku mengingatkanmu. Aku tidak akan menerima perasaan apapun."

Deg—!

Mata Jisoo membulat dengan shok. Wajahnya reflek tertunduk. Hampir saja air matanya menetes. "Sakit.." Gumam Jisoo memegang dadanya.

Kenapa dia mengatakannya setelah membuat hatiku berdebar dengan gila seperti ini. Kejam.. Kau kejam Hae in..

Kumohon air mata, jangan menetes. Kumohon..

Jisoo menarik napasnya dalam-dalam,

"...Iya, aku pasti akan selalu mengingat itu." Ucap Jisoo akhirnya sambil menatap Hae in dengan senyum yang dipaksanya mati-matian.

Memang sejak awal, seharusnya aku tidak mempunyai perasaan seperti ini.. Ini salahku.

Dan parahnya... perasaanku padanya semakin besar..




𝐇𝐈 𝐆𝐔𝐘𝐒𝐒𝐒~
𝐔𝐝𝐚𝐡 𝐥𝐚𝐦𝐚 𝐛𝐠𝐭 𝐧𝐢𝐡 𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐮𝐩𝐝𝐚𝐭𝐞, 𝐬𝐨𝐫𝐫𝐲 𝐛𝐠𝐭𝐭!
𝐁𝐮𝐭 𝐭𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐣𝐚, 𝐦𝐮𝐥𝐚𝐢 𝐬𝐞𝐤𝐚𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐚𝐤𝐮 𝐛𝐚𝐤𝐚𝐥 𝐫𝐚𝐣𝐢𝐧 𝐮𝐩!!

𝐒𝐨𝐨 𝐤𝐚𝐲𝐚 𝐛𝐢𝐚𝐬𝐚, 𝐯𝐨𝐭𝐞 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐨𝐦𝐞𝐧 𝐤𝐚𝐥𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐠𝐢𝐭𝐮 𝐛𝐞𝐫𝐚𝐫𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐚𝐤𝐮!! 𝐉𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐯𝐨𝐭𝐞 🌷

𝐌𝐲 𝐂𝐨𝐥𝐝 𝐋𝐞𝐜𝐭𝐮𝐫𝐞𝐫 𝐢𝐬 𝐌𝐲 𝐇𝐮𝐬𝐛𝐚𝐧𝐝 ✨Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang