9. Duel

25 2 0
                                    

Kini Rendi hanya bisa duduk manis bersama anggota ekstrakurikuler bela diri, sambil menyaksikan teman sebangkunya yang tengah berdiri berhadapan dengan Romi di atas matras, keduanya sudah bersiap untuk beradu kekuatan.

Ada sedikit fakta yang harus Rendi sampaikan, bahwa sebenarnya sejak awal Rendi sudah mengetahui berdebatan antara Sagara dan Romi di koridor tadi pagi. Saat itu Rendi yang hendak berjalan menuju kelas tanpa sengaja melihat perkelahian tersebut dan menyaksikannya sampai akhir sambil bersembunyi. Itulah alasan mengapa Ia masih ada di Sekolah saat Sagara kembali, sebab Rendi merasa ada yang janggal dengan percakapan antara Sagara dan Romi.

Rendi menatap sabuk yang melingkar pada perut Romi. Setahunya, sabuk cokelat pada beladiri karate adalah sabuk yang tingkatannya cukup tinggi. Sial! Lalu apa gunanya Ia mengikuti Sagara? Jika tahu akan berakhir seperti ini, seharusnya Rendi melarang Sagara saja atau mengajaknya makan di warteg dekat Sekolah agar teman barunya tidak perlu berhadapan dengan orang yang handal dalam beladiri.

Sagara menatap Kakak kelas di hadapannya. "Mau ngapain nih, Bang? Gue malu tau jadi pusat perhatian gini," ucap Sagara, lelaki itu menutup wajahnya malu-malu.

Melihat seluruh orang terkekeh dengan tingkah Sagara membuat Romi merasa direndahkan. Mau ditaruh dimana mukanya ketika Ia dipermalukan di depan adik-adik kelas serta teman-teman angkatannya?

"Ayo duel," tantang Romi, wajah lelaki itu sudah merah padam.

"Gak ah Bang. Masak iya orang biasa kaya gue disuruh ngelawan karate sabuk cokelat," tolak Sagara masih menutup wajahnya, berpura-pura malu.

"Jangan main-main!"

"Ada apa ini?"

Seorang laki-laki tiba-tiba datang. Semuanya bangkit ketika lelaki berpakaian baju karate yang masih dibalut dengan jaket itu memasuki ruang ekstrakurikuler, Rendi yang tak tahu apa-apa pun ikut bangkit sambil celingak-celinguk kebingungan. Tirta melepas jaket, menampakkan sabuk hitam yang melilit perutnya, Ia lalu berjalan mendekati dua orang yang berada di tengah-tengah penonton itu.

"Lo buat ulah apa lagi, Romi? Apa lo lupa kata-kata Sensei agar gak berbuat keonaran?" tanya Tirta, matanya sibuk mengamati lelaki yang tengah menutup wajah dengan kedua tangan. Rasanya Ia seperti mengenali siapa lelaki tersebut.

"Dia." Romi menunjuk Sagara. "dia nantangin gue duluan," tuduhnya.

Perhatian Tirta tak terputus dari lelaki berseragam putih abu-abu yang masih setia menutup wajahnya, rasanya Ia tidak mudah untuk mempercayai ucapan Romi. Sementara Rendi tak henti-hentinya mengumpati Romi di dalam hati, jelas-jelas dia sendiri yang menantang Sagara, tapi Kakak kelas sialan itu malah memutarbalikkan fakta.

"Bohong! Dia duluan yang nantangin!" seru Rendi, menunjuk Romi.

Seketika tatapan Romi dan keempat sahabatnya menghujam Rendi. Jari yang tadinya menunjuk Romi kini turun secara perlahan, Rendi hanya bisa menggaruk tengkuknya sambil memalingkan wajah, enggan berkontak mata dengan Romi maupun komplotannya. Mungkin hal terbaik yang bisa Rendi lakukan sekarang adalah berpura-pura tak mengenali Sagara.

"Maaf Bro. Untuk hari ini anggap aja kita gak pernah kenal," batin Rendi.

Tirta beralih menatap Romi. "Lo nantangin adek kelas, Rom?"

"Udah gue bilang dia duluan yang nantangin gue! Lo diem aja, Tirta! Gak usah ikut campur urusan antara gue sama adek kelas gak punya sopan santun ini!" bentak Romi.

Sagara yang sejak tadi menutup wajahnya tengah berusaha memutar otak. Ia tidak ingin ketahuan oleh Tirta, sebab jika sampai Tirta tahu maka sang Papah juga akan tahu. Kalo Papahnya mungkin masih bisa diatasi, tetapi jika Mamahnya yang mengetahui bahwa Ia berkelahi dengan Kakak kelas ketika Ia baru beberapa hari menjadi anak SMA tamat sudah riwayat Sagara. Perlahan tapi pasti Sagara berjalan menghindari Romi dan Tirta, mumpung keduanya sedang sibuk berdebat. Namun, apalah daya. Baru beberapa langkah Sagara menjauh, Romi sudah lebih dulu menarik kerah bagian belakang seragamnya.

SalsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang