Wound

40 5 0
                                    

Kamu membuka mata saat merasakan ranjangmu yg sedikit berguncang, kamu menoleh ke samping melihat Riki yg tengah menangkupkan wajahnya di kasur.

Pria itu tertidur selagi menunggu mu, kamu mengernyit saat Riki tampak tidak nyaman di posisinya, bibirnya juga bersuara tapi tidak jelas apa yg dikatakan.

Kamu terduduk lalu menggoyangkan bahunya perlahan.

"Riki?" ucapmu.

Riki tidak merespon, namun lenguhan nya terdengar semakin jelas.

"Riki" ucapmu sekali lagi membangunkannya.

Riki menggeliat, "Taki!!" teriaknya lalu tiba-tiba terbangun sambil mengucapkan nama yg tidak kamu kenal.

Kamu terkejut melihatnya, Riki yg sudah tersadar langsung menatapmu yg sedang bingung.

"Kau tidak apa-apa?" tanyamu, Riki cukup lama terdiam.

Dia hanya menatapmu, "Kau sudah baikkan?" tanya nya balik, tanpa menjawab pertanyaanmu.

Kamu hanya mengangguk, "Ayo pulang" ajakmu.

Riki bangkit, kamu langsung menghentikannya saat dia kembali ingin membopongmu.

"Aku sudah bisa berjalan sendiri" tolakmu.

Sampai dirumah, Ibu kaget melihat kondisi mu seraya bertanya apa yg terjadi, kamu berbohong dengan mengatakan bahwa kamu terjatuh di tangga sekolah. Ibu menyuruhmu untuk segera beristirahat dikamar sembari dia yg akan menyiapkan makan malam.

Kamu duduk di pinggir ranjang dan sedikit meringis saat merasakan semua badanmu yg terasa pegal dan sakit, air mata yg sedari tadi sudah berusaha kamu tahan akhirnya mengalir membasahi pipi. Kamu menggigit bibir berusaha menahan suara isak tangis.

Kamu merasakan sakit yg menyengat di dada, seolah beban emosional yang kamu rasakan telah menjelma menjadi rasa sakit fisik. Kamu memegangi dada, menarik napas dalam-dalam, tetapi terasa sangat sulit.

"Kenapa harus aku ?" bisikmu di dalam keheningan kamar.

Kamu menatap langit-langit kamar, mencoba menemukan jawaban, tetapi hanya ada keheningan. Rasa kesepian menjalar di hatimu, Kamu menutup mata, berusaha untuk tidur meski pikiranmu terus berputar. Dalam keheningan malam, kamu merasakan kesepian yang dalam, tetapi juga berharap samar bahwa suatu hari kamu bisa bangkit dari semua ini.

***

Di pagi hari walaupun terasa malas dan tidak ingin masuk sekolah, kamu tetap menjalani hari dengan biasa. Tanganmu juga sudah terasa sedikit lebih baik dan tidak terbalut oleh gips lagi, Kamu berjalan menuju sekolah dengan Riki yg mengikutimu dari belakang.

Riki sedari tadi menatap punggungmu yg berada di hadapannya, Riki menggigit bibir merasa campur aduk. Dia ingin mendekatimu namun perasaannya terbagi, "Bagaimana aku bisa membantunya ?" pikirnya.

Riki merasa kasihan, sebenarnya dia melihat kejadian saat Yuna dengan sengaja membuatmu terjatuh. Saat melihat hal itu, dia merasa teringat pada Taki dan trauma yang dialaminya.

Dia ingin membantu tetapi ragu untuk terlibat, Riki berjuang antara ingin membantumu dan ketakutan akan mengulangi kesalahan masa lalunya.

Riki memperhatikan setiap langkahmu, merasa ada kesedihan disana, kenangan akan apa yg pernah dia alami disekolah sebelumnya membuat dia mengurungkan niatnya untuk menyamakan langkah denganmu.

Riki sama sekali tidak bisa fokus selama di sekolah, bayang-bayang akan kegagalannya dalam menyelamatkan Taki kembali menghantuinya.

Masih dalam suasana termenung Riki disadarkan oleh tepukan kecil di bahunya, dia menoleh dan melihat ketua kelas, Junghwan.

"Ayo ke kantin" ajak Junghwan, Riki mengangguk dan mengikutinya.

Riki berada di kantin, kepalanya menoleh saat tidak sengaja melihatmu tertunduk dihadapan Yuna dan teman-temannya. Langkah Riki terhenti, tangannya mengepal keras saat mendapati Yuna mendorong-dorong bahumu.

Jantung Riki berdegup kencang, melihatmu yang tampak terpuruk membuat Riki tidak bisa hanya diam. Dia teringat pada Taki dan rasa bersalah yang selama ini membebani hatinya.

"Aku tidak bisa membiarkannya seperti ini" pikir Riki.

Dengan perasaan mantap Riki melangkah maju dan menahan tangan Yuna saat wanita itu hendak kembali menyakitimu.

"Kuperingatkan agar kau menghentikan semua perbuatanmu terhadapnya" tekan Riki, walaupun pelan tapi bisa terdengar ada amarah tertahan dari nada bicaranya.

Sedangkan kalian semua sudah menjadi tontonan para siswa lain, Yuna melepas kasar genggaman Riki.

"Siapa kau ? berani-berani nya menerintahku seperti itu" balas Yuna.

Situasi tegang terjadi, Riki membalas Yuna dengan tatapan tajam, "Ada apa itu ?" suara teguran guru, membuat suasana yg tadinya tegang menjadi sedikit cair.

"Jangan ikut campur jika kau tidak mau bernasib sama seperti dia" balas Yuna penuh penekanan dan melangkah pergi, beberapa siswa pun juga ikut pergi melanjutkan kembali aktifitas masing-masing.

Riki menghembuskan napas, dia beralih untuk menatapmu, "Kau tidak apa-apa ?" tanya Riki, tapi kamu tidak merespon dan hanya menatapnya dengan acuh.

Riki melihatmu yg pergi menjauh, keningnya mengernyit bingung dari tatapanmu terlihat jelas bahwa kamu sedikit kesal melihat kedatangan Riki.

Riki mengikuti langkahmu, dia merasa seperti butuh penjelasan lebih. Dia bingung, mengapa kamu sangat susah didekati dan seolah menolak bantuan atas perlakuan yg kamu alami.

Kamu pergi ke belakang sekolah, mendudukkan diri di bangku panjang tanpa tahu bahwa Riki yg sedari tadi mengikutimu. Kamu tertunduk sembari menghela napas, Riki memperhatikan setiap gerakanmu dengan khawatir, entahlah saat melihatmu tiba-tiba hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran.

Riki mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Dia melangkah mendekatimu, memastikan gerakannya lembut dan tidak terburu-buru.

Kamu menoleh saat merasakan kehadiran seseorang, kamu terkejut melihat Riki yg sudah duduk disampingmu dengan jarak yg cukup, memberi ruang tanpa menuntut.

Kamu mengalihkan pandangan, "Pergilah, aku ingin sendiri" ucapmu. Riki tidak merespon dan tetap pada posisinya, melihat hal itu kamu berdecak kesal dan berencana melangkah pergi.

"Aku tidak tahu mengapa kau sangat membenci semua bantuanku, tapi aku hanya ingin mengatakan bahwa kau tidak sendiri" ucap Riki sambil menatapmu, sedangkan kamu hanya tersenyum sinis mendengarnya.

Melihat responmu yg seperti itu membuat Riki bingung, "Aku tidak butuh bantuanmu, aku bisa mengatasinya sendiri" angkuhmu.

"Kau hanya merasa kasihan kepadaku" ucapmu dingin sebelum bangkit pergi yg terdengar oleh Riki.

“Tidak ada yang bisa mengerti perasaan kita selain diri kita sendiri, tapi terkadang berbagi bisa membantu" ucapan Riki menghentikan langkahmu, kamu berbalik menatap Riki yg juga sedang menatapmu.

"Aku tidak tahu mengapa kau sangat terobsesi untuk membantuku, tapi aku merasa tidak perlu menerimanya!"

"...jadi tolong, urus saja urusanmu sendiri" lanjutmu, nada memohon terdengar dari ucapanmu.

Kamu benci menjadi objek empati dan hal itu sangat terasa dari tatapan Riki, kamu benci saat orang-orang menatapmu dengan rasa kasihan. Kamu juga menolak untuk menerima bantuan dari siapapun karena sekalinya mereka mencoba untuk membantu ujung-ujungnya mereka juga akan menjadi sasaran kebencian dari Yuna dan teman-temannya, kamu merasa tidak sanggup melihat Yuna juga melakukan hal yg sama kepada orang lain jadi kamu memutuskan untuk menutup diri dan menahan semuanya.

***

wahh aku lupa punya work ini maaf yaa updatenya lama bgttt :(

ENHYPEN IMAGINE (AS YOUR WISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang