Open Up

46 3 0
                                    

Keesokan harinya, kamu berusaha menjalani hari dengan semangat yang tersisa, meski rasa sakit masih mengingatkanmu pada kejadian kemarin. Saat berjalan ke belakang sekolah, langkahmu terhenti ketika melihat Riki mendekat.

"Kau... baik-baik saja ?" tanyanya pelan, mencoba menilai keadaanmu.

Kamu hanya terdiam, Riki duduk di sampingmu, menjaga jarak, tetapi aura kekhawatirannya jelas terasa. "Aku tahu kemarin itu sulit" ucapnya. "Tapi aku tidak bisa membiarkanmu menghadapi semua ini sendirian."

Kamu mendapati dirimu tidak bisa menahan tatapanmu darinya. "Kenapa kamu begitu bersikeras ?" tanyamu, nada suaramu hampir bergetar. "Aku tidak butuh siapa pun untuk menyelamatkanku!"

Riki menghela napas, berusaha menahan emosinya. "Karena aku tahu bagaimana rasanya. Aku... temanku juga pernah mengalami hal serupa sepertimu" Dia mengalihkan pandangannya, terlihat mengingat sesuatu yang menyakitkan

"Dia adalah orang yang selalu berjuang sendirian, ketika dia terjatuh, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Itu menghantuiku setiap hari."

Suara Riki serak saat ia melanjutkan, "Aku tidak ingin hal itu terjadi padamu juga. Aku merasa sangat tidak berdaya saat itu, dan aku tidak ingin merasakannya lagi." Dia berusaha menatap matamu. "Aku ingin membantu, tapi aku juga takut akan mengulangi kesalahan yang sama."

Kamu tertegun mendengar ceritanya. Rasa sakit yang kau rasakan seolah bergetar dalam hatimu, menyentuh bagian terdalam dari ketidakberdayaanmu. "Jadi, itu sebabnya kau ingin membantuku ?" tanyamu, suara pelan dan penuh keraguan.

"Ya," jawab Riki, matanya tak pernah lepas dari tatapanmu. "Aku ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian. Kita bisa melewati ini bersama-sama. Tidak ada salahnya untuk meminta bantuan"

"Semua orang hanya ingin berpura-pura peduli, tapi pada akhirnya mereka hanya akan pergi" kamu membalas, suaramu penuh penekanan. "Aku tidak mau jadi beban!"

Riki melanjutkan, "Kita bisa melewati ini bersama-sama. Jangan tutup diri dari orang-orang yang peduli padamu."

Dengan napas yang dalam, kamu merasakan dinding emosional yang kamu bangun mulai retak. "Baiklah," ucapmu perlahan. "Aku akan mencoba... untuk berbagi. Tapi, aku tidak tahu apakah aku bisa sepenuhnya mempercayaimu."

Senyum kecil muncul di wajah Riki, meski masih ada kekhawatiran di matanya. "Itu sudah lebih dari cukup. Kita akan mengambil langkah kecil, satu per satu. Bersama"

Suasana di sekitar kalian mulai terasa lebih hangat, seolah matahari mulai bersinar setelah badai. Meskipun rasa takut masih menyelimuti hatimu, ada harapan baru yang mulai tumbuh. Mungkin, dengan bantuan Riki, kamu bisa mulai melangkah keluar dan menemukan jalan menuju penyembuhan.

Riki mengulurkan tangan, menawarkan dukungan yang tulus. "Ayo, kita hadapi hari ini bersama. Kau tidak sendirian lagi"

Kamu menatap tangan Riki sejenak, lalu perlahan meraih tangannya. Momen itu terasa seperti awal baru, meskipun masih ada jalan panjang di depan. Dengan satu langkah kecil, kamu bertekad untuk berjuang bersama Riki.

***

Setelah hari yang panjang di sekolah, Kamu dan Riki berjalan pulang bersama. Suasana sore itu cerah, sinar matahari berkilau di antara pepohonan yang rimbun, menciptakan bayangan indah di jalan setapak. Kamu merasa sedikit lebih ringan, seolah langkahmu menjadi lebih cepat setelah pembicaraan di belakang sekolah.

"Kau tahu" Riki memulai, menggeser tas ranselnya di bahu. "Aku tidak terlalu suka berjalan pulang dari sekolah sendirian. Rasanya lebih menyenangkan kalau ada teman"

ENHYPEN IMAGINE (AS YOUR WISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang