7. mimisan?

87 8 2
                                    

7.

Di sebuah langit sore yang sedikit mendung, namun masih sedikit terang sebab matahari masih terlihat, Regan duduk di sofa ruang tamu milik paman nya. Laki-laki itu sejak tadi hanya sekedar duduk sembari mengangkat sebelah kaki, dengan tangan yang tak henti- hentinya mengambil kacang almond yang ada di dalam toples kaca milik paman nya.

Makanan gratis, pikir Regan. Padahal usul punya usul, ia pun tak kalah kayanya. Hanya saja laki-laki jangkung itu tetap kekeh berlagak menjadi orang miskin agar tidak ditagih uang kas oleh bendahara kelas. Namun siapa yang akan percaya jika anak yang mengaku miskin memakai sepatu sekolah dari brand channel?

"Ape nih?" Eldian mengangkat sebuah amplop berwarna cokelat gelap di tangannya.

Regan menoleh sekilas, "buka aja, siapa tau isinya duit," Laki-laki itu kemudian kembali memasukkan beberapa butiran kacang almond ke dalam mulutnya, lalu ia kunyah dengan khidmat.

Eldian melempengkan wajahnya, pria kepala tiga itu kemudian mulai merobek sisi amplop itu sampai terbuka. Eldian sudah was-was, berharap isinya adalah sebuah piagam terlipat atau apalah. Siapa tau, ya kan.

Setelah membuka lipatan surat itu, eldian memang sudah menduga bahwa surat itu bukanlah surat cinta atau semacamnya, namun surat panggilan kepada wali/ orang tua dari siswa yang melakukan kesalahan di sekolah.

"Lo ngapain lagi, malik?" heran Eldian menunjukkan isi surat itu kepada Regan yang kini masih setia menyemil kacang almond dengan santai.

"Biasalah,"

Eldian menatap heran ponakannya itu, pria itu langsung saja duduk pada sebuah sofa yang berseberangan dengan sofa yang kini Regan duduki. Perlahan eldian menarik nafasnya dan menghembuskan nya dengan panjang. Rasanya darah tingginya akan kumat.

"Biasalah gimana? Ngapain lagi lu?"

Regan segera menutup kembali toples yang ada di pangkuannya, laki-laki itu kemudian menatap eldian dengan tatapan tanpa bersalah. Lihatlah senyuman tengil yang ada di bibir laki-laki itu membuat eldian berusaha menahan rasa gregetnya. Ingin sekali rasanya eldian menampol pantat ponakannya yang sudah menginjak remaja itu.

"Masalah kecil, cuma gantungin wig pak jojo di ranting pohon doang. Bu nuni aja yang dendaman," Regan menaruh kembali toples kaca itu di atas meja.

Eldian kemudian tertawa, bukan tawa bahagia melainkan tawa miris yang menunjukkan kini akal sehatnya mulai terganggu. Hidup sudah jomblo, kesepian, melajang terus, mana punya ponakan gini amat modelannya. This is destiny.

"Ngapain sih lu segala pakai nyolong wig guru? mau lu pakai, iya?"

Regan segera menggeserkan pantatnya di atas sofa untuk mendekat diri ke arah pamannya. "Sudah saatnya dunia tau betapa mengkilap nya kepala pak jojo," Regan mengubah ekspresi nya seolah-olah ia sedang membawakan sebuah puisi.

"Lagian ya, tuh guru narsis banget om. Masa baiknya cuma di depan bu nuni aja sih? Giliran di depan Regan sama temen-temen malah kaya maung!"

Eldian menoyor samping kepala Regan dengan telunjuknya, "bego nih, udah gue sekolahin dari TK otak lu gini- gini doang."

"Harusnya langsung SD aja om, kan gue belajar nyolong sepatu temen pas waktu TK."

"Malah nyaut! Gue iket nih mulut lu pake karet cacing!" Eldian berancang- ancang ingin meremas wajah ponakannya yang satu itu. Sungguh membuat frustasi.

"Ya, maap!" Ucap Regan sedang keikhlasan setidaknya 25%. Sudah lumayan bukan.

Eldian mengusap dadanya dengan sabar, ia harus banyak bersabar agar umurnya panjang. Ia masih ingin menikah jika gadis pujaannya kembali nanti. Tapi untuk saat ini, eldian hanya ingin fokus terhadap Regan dahulu, sebab disini sekarang remaja itu hanya punya dirinya saja. Remaja jangkung yang bersikap nakal itu jauh dari orang tua.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang