11.
Hujan yang turun sore ini jatuh tidak terlalu deras. Gemercik air yang jatuh dari langit perlahan membasahi dedaunan, lambat waktu berjalan seakan sengaja membuat raga gadis itu menggigil kedinginan. Tangan yang semula bertengger di siku kini ia gerakkan mengadah membendung air yang berjatuhan. Meski sudah hampir satu jam lamanya ia berada di posisi seperti ini, sena sama sekali tidak tergerak untuk berhenti.
Tangan yang telah basah kini hanya bisa ia tatap dengan gurat sendu yang terpancar di wajahnya. Dalam benaknya ada banyak hal yang membuat sena merasa tidak nyaman, ada banyak sekali rentetan pertanyaan- pertanyaan yang sangat ingin dia enyahkan dalam benaknya.
Didampingi dengan sebuah buku dengan cover usang, sena terlihat menipiskan senyumnya. Setelah cukup lama ia terdiam, kini ia tergerak mengambil buku itu lalu membuka lembar demi lembar halaman, hingga ia berjumpa dengan sebuah lembar kosong yang akan dia isi dengan goresan tangannya.
"Hujan bulan Juni. Ketika aku menuliskan ini percayalah bahwa kini aku benar-benar berada dalam sebuah belenggu dimana hujan turun dari langit. Sore hari yang indah, dengan hanya ada aku seorang diri disini. Aroma tanah yang tercium membuatku nyaman, gemercik air yang tidak terlalu deras membuatku tenang, dan saat ku ulurkan tanganku untuk mengadah, saat itu juga aku merasa kembali hidup setelah sekian lama merasa mati."
Sena menutup buku itu rapat-rapat. Kini ia memeluk lututnya dan duduk di kursi dekat teras itu kembali. Posisinya masih sama, menatap lekat guyuran hujan yang semakin lama semakin melemah.
"Loh, udahan nih hujannya?" Gumam Sena ketika gemercik air sudah tak lagi sederas tadi.
Perlahan perempuan itu bangkit dari duduknya dan segera melangkahkan kaki untuk mendekat ke arah halaman rumah. Saat sampai, gadis itu mendongkak menatap langit yang mulai kembali cerah setelah hujan tadi. Walaupun masih sedikit gerimis, Sena tetap mendongkak kan wajahnya.
"Wah, pelangi!" Ucapnya sembari menunjuk sebuah lengkungan indah warna- warni yang ia lihat saat ini.
Ternyata ada banyak hal yang bisa membuat Sena tersenyum bahagia. Hal-hal sederhana yang biasa dilakukannya sudah cukup untuk membuat gadis itu bahagia. Kini senyum lebar yang merekah di wajah perempuan itu terlihat begitu indah. Kadang kala memang senyum yang terukir tidak semua tentang kebahagiaan, tapi untuk saat ini Sena benar-benar merasa bahagia dan beruntung karena berada di dunia yang ternyata memiliki beribu-ribu keindahan di dalamnya.
Dari balik jendela sana, seorang wanita enam puluhan tahun menyibak sebelah gorden. Mengamati lamat-lamat Sena dari dalam rumah. Ia adalah Neyda, nenek Sena yang kini tinggal bersama sena di rumah tingkat dua itu. Rumah yang dikelilingi oleh rindang nya pepohonan yang menjulang tinggi, serta jauh dari polusi kendaraan yang dapat mengganggu pernafasan.
"Malang nasib sudah ditentukan, berbahagialah Sena, nenek selalu bersamamu" Gumam Neyda dengan senyum haru di bibirnya.
.......
Pagi hari yang cerah seakan menyambut Regan saat datang ke sekolah. Sisa-sisa hujan kemarin malam masih membuat tanah disekitaran sekolah masih basah. Aroma tanah yang khas masih tercium bersamaan dengan hawa dingin yang masih terasa meski hujan tak lagi turun.
"Nah diem ae disini lo, ga usah kemana-mana" Sejenak Regan menepuk setang susi setelah berhasil memarkirkan motor nya itu di tempat biasa.
Laki-laki itu kemudian berbalik lalu mulai melangkahkan kaki meninggal kan kawasan parkiran. Langkah kaki jenjang nya itu kian membawa Regan mendekat ke arah lapangan yang ternyata kini sudah ramai. Terlihat ada beberapa siswa laki-laki yang menggunakan pakaian olahraga dan bermain basket di lapangan sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
Fanfiction(TIDAK DILANJUTKAN) Regantara Reynand, Anak remaja laki-laki dengan tingkat kenarsisan 180° dengan tingkahnya yang membuat orang-orang sekitar geleng-geleng kepala. Menginjak kelas 12 tahun ini membuat Regan anak tunggal Na Jaemyun dan Renandina Ag...