THE ONLY ONE LOVE BAB 2 'PERTANYAAN'

214 21 2
                                    

"Apa yang lo cari dari sebuah pernikahan, Zal?"

Aku ingat malam itu hujan turun dengan lebat, dan Rizal yang tengah asyik menyantap Indomie goreng lengkap dengan tiga buah cabe rawit serta dua telur buatanku langsung mematung. Kemudian diletakan piring dalam genggamannya di atas meja kayu ruang tamu orangtuaku, dengan wajah tanpa menunjukan ekspresi apapun ia meraih gelas berembun untuk
ditandaskan isiny. Saat gelas itu kembali ke atas meja, ia menatapku lekat.

Wajahnya serius, kata Rizal "Tahu nggak, Bi? Gue pernah baca pertanyaan yang sama kayak pertanyaan lo barusan di Quora[1]." Senyumnya kali ini tampak, "Dan ada satu orang yang jawabannya bikin gue ngangguk-ngangguk setuju."

"Emang dia jawab apa sampai lo setuju gitu, Zal?" aku penasaran.

Rizal tampak mengingat-ingat sebelum akhirnya berujar, "Gue menyimpulkan sih kalau sebaiknya kita nggak mencari sesuatu dari sebuah pernikahan, Bi. Karena pernikahan itu ibarat sarana untuk belajar." Jeda sejenak, keningku berkerut. Seolah mengerti kebingunganku, ia pun melanjutkan, "Belajar untuk setia... belajar untuk bertanggungjawab... belajar berbagi... berlajar mencintai dan dicintai... belajar terluka dan terobati... belajar dipahami dan memahami, dan belajar banyak hal yang nggak mungkin dilakukan seorang diri.[2]"

Oh I see.

"Jadi, Arimbi, apa yang gue cari dari sebuah pernikahan?" Dia menggeleng, "Nggak ada, Bi__," tatapannya mengunciku, "karena sebisa mungkin gue nggak menggantungkan harapan apapun dari sebuah hubungan termasuk pernikahan." Aku masih diam, "Sehingga, kalaupun Tuhan punya rencana lain terhadap hubungan itu, kekecewaan gue nggak banyak-banyak banget." Ia menghela napas, "dan... segala hal baik yang gue dapatkan dari suatu hubungan nantinya, ya... itu mah bonusnya aja."

"..."

"Tapi... bukan berarti gue nggak berusaha memberikan yang terbaik setiap kali menjalin hubungan, kan, Bi?"

       Hujan di luar masih saja deras, aroma Indomie goreng berbaur dengan aroma lembab menguasai ruangan, sementara kami masih beradu pandang sampai lesung pipitnya kembali terlihat saat ia tersenyum mencairkan suasana yang mendadak beku.

       "Kalau lo nggak cukup puas dengan jawaban gue tadi, kita bisa cari sama-sama jawabannya setelah menikah nanti, mau?"

       Dan Rizal kembali sibuk dengan santapannya, sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Jawaban tadi seharusnya cukup membuat tenang karena tak ada janji-janji manis yang ia lontarkan untuk mengambil hatiku selayaknya seorang laki-laki yang tengah melakukan pendekatan, jawaban tadi terdengar apa adanya tanpa ia buat-buat. Hanya saja jawaban Rizal tak lantas membuat ketakutan-ketakuan yang selama ini sudah susah payah kukunci rapat-rapat di dasar hati kembali tertidur. Ketakutan yang kupikir sudah berhasil kujinakkan, namun rupanya aku salah. Karena sejak kemunculan Rizal dengan segala skenario yang terjadi pada kami berdua setelahnya, ketakutan itu getol menggentayangi malam-malamku. Bahkan, karenanya aku pernah menyusun skenario pembatalan pertunangan. Bukan karena tak cukup yakin pada komitmen Rizal sebagai lelaki, hanya saja aku merasa harus selesai dengan diri sendiri terlebih dulu jika tak ingin melibatkan orang lain dan membiarkan orang lain tersebut terluka karenanya.

       Namun, Tuhan tak merestui niatku tersebut karena setiap kali ingin mengucap pisah pada setiap momen pertemuan, skenario perpisahan yang sudah kususun rapi tak pernah berhasil meluncur dari dari bibir ini hanya karena aku melihat lesung pipitnya, hanya karena melihat cengiran di wajahnya, atau sekadar melihat kilat-kilat bahagia di matanya saat dia menceritakan betapa nikmat Indomie goreng kesukaannya yang dimakan dengan dua telur dan tiga rawit saat tengah malam, atau saat melihat tingkahnya yang menggemaskan seperti anak kecil ketika ia menyantap martabak ketan hitam yang dibelinya di dekat rumahku.

THE ONLY ONE LOVE #LoveAbleSeries Book1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang