THE ONLY ONE LOVE BAB 5: ORANG-ORANG DARI MASA LALU

82 7 0
                                    

           "Kamu dari dulu emang pengin jadi anak band banget, ini, Dim?"

          Suatu sore, di kencan ke lima yang kami habiskan dengan menonton series di apartmennya, aku bertanya. Bungkus Chitato Lite teronggok mengenaskan di meja, semua isinya sudah berpindah ke perut, sementara dua botol air mineral setengah kosong dipenuhi titik-titik air yang perlahan mulai menetes. Adimas duduk di sisi, pundaknya dibiarkan menjadi sandaran kepalaku selagi tangan kami bertaut.

           Aku merasakan dia menggeleng, dan itu menarik perhatianku. Mengangkat kepala untuk menatapnya langsung, membuat Adimas tersenyum lebar melihat rasa penasaranku. "Waktu kecil aku pengin banget jadi Kepala Desa kayak Bapak, Bi. Percaya nggak?"

           Mataku membulat, "Serius?" dari sekian banyak profesi, Kepala Desa bukan lah cita-cita yang terlintas di benakku akan dia pilih, namun dia mengangguk antusias. "Kok bisa?"

Mataku membulat, "Serius?" dari sekian banyak profesi, Kepala Desa bukan lah cita-cita yang terlintas di benakku akan dia pilih, namun dia mengangguk antusias. "Kok bisa?"

            "Bisa dong." Serunya. "Bapak tuh dulu disokong yang punya modal gede untuk nyalonin diri jadi Kepala Desa, Bi. Dipasangin sama anak kepala desa sebelumnya gitu."

             Berkerut kening, "Itu Bapak terima gitu aja pinangannya, Dim?"

            "Seingatku, sih, Bapak sempat nolak waktu itu, Bi. Amanahnya gede katanya," aku mengangguk menyetujui, "Beliau lebih suka jadi guru ngaji aja. Apalagi Ibu juga ngelarang." Aku melihat tatapannya sempat menerawang sore itu. "Tapi nggak ngerti juga kenapa akhirnya Bapak terima dan Ibu yang tadinya paling vokal menentang malah jadi yang paling mendukung." Menggedigkan bahunya santai. "Bapak banyak dapat suara, lho, saat pemilihan, Bi."

            "Banyak yang dukung, dong, Dim?"

            Dia mengangguk, "Tapi nggak sedikit juga, sih, yang skeptic. Mereka pikir Bapak cuma jadi boneka dari orang-orang yang punya kepentingan aja." Aku melihat senyum ironi di wajah Adimas, "Ya kamu bayangin. Guru ngaji yang kasarnya buta sama politik mendadak terjun jadi kepala desa, dimodalin pula." Aku meremas tangannya, dan senyum hangatnya muncul. "Tapi, aku jadi saksi kalau Bapak mendedikasikan masa lima tahun jabatan itu untuk benar-benar ngurusin warganya, Bi. Dan itu bukan untuk mematahkan tudingan mereka, itu memang tanggung jawab Bapak sebagai pemimpin." Jeda sejenak. "Kata Bapak, beliau bahkan nggak berani tidur nyenyak atau makan enak sebelum memastikan kalau salah satu warganya nggak sedang makan bangkai karena saking nggak punyanya." Aku menunggu kelanjutan ceritanya. "Long short story, Bapak mulai diterima, dan bersama-sama warganya, beliau bikin banyak perubahan. Perubahannya kayak apa nggak usah dijelasnin lah, ya, Bi. Bakal panjang banget soalnya." Aku tergelak.

           "Dari situ aku jadi menyimpulkan kalau untuk bisa didengar, kita harus ditrerima dulu. Dan, untuk bisa diterima, kita harus mau melakukan dan menjadi sesuatu, Bi." Menghela napasnya kemudian senyum cerah itu muncul di wajahnya. "Makadari itu, aku pengin banget jadi pemimpin supaya suara aku bisa didengar, supaya apa yang ingin kuubah menemukan jalannya."

          "Kamu udah punya nama besar, lho, Dim, sekarang. Siapa yang nggak kenal Adimas Mahapati, coba? Suara kamu pasti didengar orang banyak."

          Adimas Tersenyum, dan saat berbicara ada keseriusan juga tekad tergambar di mata tajamnya, "Yang kamu ucapin barusan benar banget, Bi. Tapi, ada hal-hal yang nggak bisa disentuh oleh Adimas Mahapati, dan aku butuh Adimas versi lain untuk melakukannya." Meraih tanganku, dan membawaku kembali bersandar padanya, "Ya walaupun jadi kepala desa nggak kesampaian, barangkali nanti aku yang jadi pemimpin kamu sebagai Gubernur Jakarta."

THE ONLY ONE LOVE #LoveAbleSeries Book1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang