Sore itu langit cerah, Ayah asyik mengguntingi daun-daun kering pada pohon cabai merah yang berhasil ditanamnya dalam pot di halaman, sementara aku duduk di atas bangku kayu teras, menikmati singkong rebus buatan Mama sembari menggelontorkan isi kepalaku perihal novel Norwegian Wood-nya Haruki Murakami yang baru selesai kulahap.
Menghabiskan Minggu sore sembari membaca buku bersama Ayah atau hanya sekadar diskusi ringan adalah hal yang selalu kunantikan karena kepala Ayah seolah perpustakaan luas berisi ribuan buku yang segala jawaban dari pertanyaanku ada di sana. Selain itu tak pernah sekalipun aku mendengar nada-nada bahkan kata-kata penghakiman keluar dari mulutnya. Jika ada yang berhak mendapatkan pernghargaan sebagai Ayah paling demokratis sejagad raya, aku memastikan kalau Ayah akan mendapatkannya karena selama hidup dua puluh delapan tahun bersamanya, aku selalu diberi kebebasan penuh untuk bersuara dan menentukan jalan hidupku sendiri termasuk urusan pekerjaan serta asmara.
Belakangan, bisa mengobrol dengan Ayah adalah sesuatu yang tak bisa sering dilakuan seperti sebelumnya karena sejak mulai meniti karir di devisi berita salah satu stasiun tv swasta sebagai jurnalis yang diawali sebagai reporter lapangan sebelum bisa berhasil menjadi news anchor untuk berita petang selama empat tahun dan satu tahun belakangan resmi mengisi acara This Morning With Us bersama Adel dan Ario Bayu, aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Jadi, saat ada kesempatan datang, tak akan kusia-siakan.
Namun, sepertinya sore itu bukan sore terbaikku karena bukannya menanggapi ocehanku perihal novel dari penulis kecintaan Ayah itu, Ayah malah melemparkan pertanyaan di luar prediksiku, pertanyaan yang membuatku berkedip untuk beberapa saat sembari mencernanya baik-baik. "Kamu nggak pengin berkeluarga, Bi?"
Pertanyaan yang memberikan efek sama dengan pertanyaan Rizal malam ini, pertanyaan yang tak kubayangkan akan secepat itu meluncur dari bibirnya. "Can I steal a kiss from ya?"
(Tahu nggak, sih? Aku cuma mengunggah detil cerita bagian ini di KaryaKarsa, lho. Jadi, kalau kamu mau tahu the way Rizal kiss Arimbi, kamu bisa baca di KaryaKarsa karena cuma di sana kamu bisa dapatkan detilnya. Di sana juga pastinya bab ini ceritanya jauh lebih panjang dari yang di sini. Yuk follow akun karyakarsa akunya, jangan lupa tinggalkan jejak juga di sana, yaaaa. BTW sila dilanjut kembali bacanya. )
Menciumi buku-buku jariku dengan lembut, tantangnya "Mau coba lagi?
Belum sempat menjawab, napas Rizal sudah menerpa wajahku saat ia mendekat, dan jutaan kembang api sekali lagi meledak tanpa henti. "Mau menarik statement sebelumnya?" Ia bertanya sesaat setelah melepaskan diri.
Menyeringai seperti orang bodoh, kataku, "Yang barusan lumayan."
Wajahnya dihiasi cengiran dan aku langsung menyembunyikan wajah di dada bidangnya saat ia mengetatkan pelukan. Aroma sabun dan pelembut pakaian langsung terhidu di antara debar jantungnya yang terasa jauh lebih cepat. Berada di dalam dekapannya seperti ini membuat mataku berat, jika saja satu ingatan tak menghantamku telak, mungkin aku sudah terjatuh ke alam mimpi.
"Zal?"
"Hmm?"
"Gue merasa kayak pernah dipeluk lo deh saat SMA." Aku mendongak dan mendapatinya sudah terpejam. "Waktu latihan drama untuk perpisahan kelas tiga. Benar nggak, sih?" dan kini mata Rizal terbuka sepenuhnya.
Dengan wajah yang seolah tengah mengingat sesuatu, dia pun menimpali. "Saat itu elo masih pakai kostum Thinkerbell selepas latihan, kan?"
Aku membenarkan, "Sial banget deh gue waktu itu. Saat nggak suka sama karakter Thinkerbell, gue malah dapat perannya." mengerucutkan bibir. "Dan elo juga resek! Nggak mau berhenti manggil gue Thinkerbell. Padahal kan gue udah minta lo untuk manggil gue Arimbi aja."
Rizal tergelak, "Lo gemesin banget sih, Bi, soalnya waktu itu."
Aku misuh-misuh, dan momen yang mulai terasa kabur dengan tak senonoh menampakkan dirinya. Dalam ingatan, Rizal berusaha menghindari kejaranku pasca latihan karena aku berniat menghadiahinya sebuah cubitan di pinggang agar ia berhenti memanggilku Thinkerbell. Namun, sepertinya keberuntungan sedang tidak berpihak, sehingga aku yang masih memakai kostum Thinkerbell pun malah terpeleset dan tersungkur di lantai lorong sekolah. Melihatku menangis—tidak tahu malu—di depan teman-teman ternyata membuat Rizal merasa bersalah, sehingga ia memilih berbalik mendekat untuk menarikku sampai berdiri sebelum membawaku dalam dekapannya. Saat itu aku ingat, hanya dengan sebuah pelukan, tangisku sukses berhenti. Dan... nama Thinkerbell setia ia lebalkan padaku sampai sekarang.
Rizal muda dikenal sebagai anak laki-laki yang menyenangkan dan mudah bergaul dengan bonus tampang enak dilihat dan berotak cerdas. Tak heran saat itu dia menjadi incaran banyak gadis di sekolah dan kesayangan para guru. Sialnya Rizal menyadari potensi yang melekat pada dirinya, sehingga ia memanfaatkan hal tersebut untuk bisa kencan dengan gadis manapun yang diinginkannya. Saking seringnya gonta-ganti pacar, julukan Cassanova cap kadal gurun sempat disandangnya.
Meski bersekolah di tempat yang sama, aku tak begitu mengenalnya, hubungan kami hanya sebatas teman eskul teater, selain karena berbeda jurusan juga karena kami memiliki lingkar pertemanan yang berbeda. Akan tetapi, reputasi Rizal selama di SMA membuatku paham satu hal; Rizal adalah tipikal laki-laki yang harus kujauhi. Namun, Tuhan terkadang senang bercanda dengan hambaNya karena laki-laki yang dulu susah payah kuhindari, kini menjadi laki-laki yang kunikahi.
"Elo dari dulu emang cengeng, ya, Bi?" kegelian dari suaranya menepis semua kenangan itu.
Kucubit saja pinggang Rizal, dan dia menggerutu karena cubitanku terlalu keras rupanya. "Rasain," Aku mencemooh ketika ia sedikit melonggarkan peulukannya untuk menatapku.
"Galak lagi," meledek, dan aku pun melotot padanya. Tanpa diduga ia tertawa terbahak, dan getaran tubuhnya merambat ke tubuhku, rasanya... entahlah. Saat Rizal berhasil menguasai tawa, aku menguap, dan ia tersenyum melihatku. "Ngantuk?" tanyanya yang dijawab oleh anggukkan. "Mau tidur?"
Sebuah kecupan kuhadiahkan untuk mengakhiri percakapan sembari berjanji akan memberitahu Rizal alasannya nanti. Menguap sekali lagi, ia pun tersenyum pengertian sebelum menarik selimut menutupi tubuh kami berdua.
Mengecup keningku. "Good night, my Thinkerbell," katanya.
Dan... aku bergumam tak karuan sebelum kalah oleh rasa kantuk.
NEXT: PERTEMUAN-PERTEMUAN SEBELUM PERNIKAHAN
__________________________________
Hai, apa kabar? Gimana? Suka nggak sama Part ini? Kalau suka, beri akunya komentar dan like, dong, supaya nulisnya semangat gitu, lho.
btw, cerita ini selain diunggah di Wattpad juga diunggah di KaryaKarsa, Lho. Dan pastinya di sana ceritanya jauh lebih panjang dari yang aku unggah di sini.
Jadi... yuk ramein dong KaryaKarsa akunya, jangan lupa di follow juga supaya kamu lebih cepat dapat update-an dari cerita ini karena akunya bakal lebih cepat unggah di sana daripada di sini.
Aku tunggu, ya.
Terima kasih, lho.Btw di KaryaKarsa tuh cerita ini sudah sampai Bab 18, lho.
Kalau kamu mau cepat2 tahu kelanjutan kisah Rizal dan Arimbi, sila baca di KaryaKarsa aja, yaaaa.https://karyakarsa.com/RianiSuhandi/the-only-one-love-bab-3-whats-meant-to-be-will-always-be
Terima kasih 💋
KAMU SEDANG MEMBACA
THE ONLY ONE LOVE #LoveAbleSeries Book1
RomanceDitantang seorang News Anchor terkenal untuk menikahinya membuat pengacara seksi Yummy Rizal Agiana pratama melepaskan masa lajang di usia 29 tahun. Namun, trauma masa lalu dan orang-orang dari masalalu membuat pernikahan Rizal dan Arimbi tidak semu...