bag 5; ekstrakurikuler dan angkutan umum

193 32 1
                                    

"Upacara bolos terus, bagaimana bisa anak muda ini menjadi penerus bangsa yang baik?"

Rayyan yang tengah menyeruput es teh-nya mendelik sengit ketika Jean menyidirnya. Lagian, baru juga jadi kelas sepuluh udah bolos upacara mulu.

"Gue mau nerusin toko bapak gue, napa lo, hah?" jawab Rayyan sambil melempar remahan kerupuk pada Jean.

Lail hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepala melihat kelakuan teman-temannya itu. Hari ini sudah seminggu Lail mengenal mereka, dan ternyata berteman dengan anak-anak ganteng tapi agak gesrek ini tidak buruk juga.

"Nah, mau makan apa kita hari ini, kawan?" tanya Jean pada Lail.

"Gue mau batagor," jawabnya.

"Ya Allah, Il, tiga hari makan batagor kagak bosen apa lu?" tanya Rayyan setelah melahap bakso terakhirnya. Rayyan udah dari tadi di kantin.

Lail hanya nyengir sambil menggaruk tengkuknya. "Enak, sih."

Jean tertawa, ini anak kayaknya ngga biasa makan jajanan kayak batagor jadi sekali ngerasain ternyata enak ya mau terus. Kayaknya Lail bakal jadi langganan, sih. Bu kantin harus berterima kasih sama Jean buat promosi gratisnya.

"Yaudah, batagor, ye."

Seperginya Jean ke lapak penjual batagor, Lail memandang keadaan kantin. Kantin ini sedikit berbeda dengan kantin sekolahnya yang lama. Ia masuk ke sekolah swasta elit dan tentunya kantinnya lebih terkesan mewah. Makanan yang ada juga jauh beda. Tapi entah mengapa Lail lebih suka kantin ini.

Ya di kantin yang dulu ngga ada batagor, sih.

"Eh, itu si anak baru ganteng banget ngga, sih?"

Bisikan yang sebenarnya masih bisa Rayyan dengan dari sekumpulan gadis di belakangnya itu menarik perhatian Rayyan. Ia menyeruput es tehnya sambil mendengarkan percakapan mereka yang sudah pasti ditujukan untuk Lail.

"Iya, mana temenannya bareng Jean, Rayyan."

Ah, Rayyan sedikit besar kepala. Ya ia tahu sih ia terkenal karena ganteng sejak masa orientasi siswa. Kakak kelas aja banyak yang naksir.

"Tapi, ya . . . tahu ngga sih, dia itu tuli tahu."

Rayyan berhenti tersenyum setelah mendengar perkataan itu. Ia melirik Lail, anak itu masih asik mengamati kantin yang entah apa menariknya di mata kawan barunya itu.

Sesekali Lail menanggapi anak-anak yang mengajaknya bicara, kebanyakan teman sekelasnya, entah membicarakan apa. Sepertinya mereka tengah menjelaskan arsitektur atau apalah itu tentang kantin pada Lail. Wajah Lail terlihat begitu tertarik dan terlihat polos sekali. Seperti anak kecil yang tertarik mendengar cerita dongeng.

Mana teman-teman sekelas Jean kan sama gesreknya kayak Jean.

"Hah, beneran? Tapi dia bisa, tuh, ngomong biasa sama Jean?"

"Iya, kan pake alat pembantu. Itu, lihat ngga sih yang dia pake terus di telinga itu? Itu tuh alat bantu biar bisa denger. Kalau engga ya ngga bisa denger."

"Oh, pantesan gue pernah lihat dia ngobrol pake bahasa isyarat gitu deh kayanya sama Jean."

"Euhh, ganteng sih, ya . . . tapi tuli."

Lalu tawa renyah terdengar dari gadis-gadis itu. Rayyan mendecih, menjijikan sekali batinnya. Bagaimana bisa mereka menertawakan kekurangan orang lain begitu?

"Nah, ini pesenannya tuan muda."
Jean datang membawa dua piring batagor untuknya dan Lail.

"Makasih, Je."

"Yoi."

Rayyan menahan emosi kala didengarnya gadis-gadis di belakangnya menggunjing tentang Lail. Mengatakan temannya itu tampan tapi lalu menertawainya setelah tahu Lail adalah seorang tuli.
Rayyan menggebrak meja, membuat Jean juga Lail terkejut karena mereka tak tahu apa yang gadis-gadis itu katakan.

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang