bag 16; sudah lama kita tidak berbicara

128 28 1
                                    

Hari yang Haidan takutkan akhirnya tiba. Hari dimana Lail bertemu ibu kandungnya, hari dimana semua kemungkinan menyedihkan yang ia rancang di kepala mungkin saja terjadi.

Ia berada di depan rumah Adji dengan kemeja lengan pendeknya, tangannya menggantung di udara. Belum sempat pintu kayu itu ia ketuk, sosok wanita cantik berkuncir kuda keluar dengan senyum hangatnya.

"Kak Haidan, Lail-nya lagi sarapan. Ayo masuk dulu."

"Ngga usah, Nad. Boleh panggilan Adji aja?"

Nadin mengangguk, lantas kembali masuk ke dalam rumah untuk memanggil Adji. Haidan duduk di bangku di halaman rumah Adji. Tak sampai lima menit, Adji datang menghampirinya.

"Gimana? Lo yakin mau ikut?"

"Yakin, Ji."

Adji mengangguk pelan. Ia sudah mengatur pertemuan Lail dan Andrea. Tentu dengan izin dari Lail, ia sudah bicara dengan anak itu semalam. Lail mau bertemu dengan Andrea asalkan Adji menemaninya. Yang membuat Adji sedih, anak itu seakan menghindari Haidan, bahkan setelah seharian di rumahnya, ia sama sekali tak membawa nama Haidan.

Tidak seperti hari biasanya ketika ia menginap di rumah, Lail akan membicarakan apa saja tentang Haidan. Mulai dari ayahnya yang lupa letak kunci mobilnya hingga ia hampir terlambat ke sekolah, hingga ayahnya yang ketiduran di sofa sehabis menonton film.

Adji menepuk bahu Haidan yang terasa begitu berat akhir-akhir ini. Mereka sama-sama hanyut dalam diam hingga pintu rumah terbuka, menampakan Lail yang telah siap dengan baju biru dan celana bahan hitamnya. Di sampingnya ada Nadin dan Sean.

Adji dan Haidan menghampiri Lail. Haidan tersenyum melihat sang putra yang seharian kemarin tak ia lihat.

"Udah siap, ganteng?"

Lail mengangguk.

"Ayo, Dek-"

"Ayo Om."

Lail berjalan melewatinya, menuju ke mobil Adji yang sudah terparkir di depan halaman. Haidan membeku di tempat, baru kali ini hatinya serasa nyeri teramat. Lail bahkan tak repot menyapanya.

"Biar sama gue aja ya, Dan."

Adji berpamitan pada Nadin dan Sean sebelum pergi ke dalam mobil menyusul Lail. Haidan tersenyum tipis pada Nadin, lantas nenyusul Adji yang lebih dulu melajukan mobil.

🍁

Mereka bertemu Andrea di salah satu cafe. Saat sampai disana, Andrea sudah duduk di salah satu bangku sendirian. Tidak ada suaminya disana. Ia mengenakan dress berwarna biru dengan surai panjang yang digerai bebas.

Lail seketika menggenggam tangan Adji erat. Dadanya bergemuruh hebat dan pandangannya terfokus pada sosok wanita di depan sana. Sementara Haidan menundukkan kepala di belakang mereka, sedikit berharap bahwa ia lah yang Lail cari ketika gugup alih-alih Adji.

"Ngga papa, ayo," ajak Adji. Ia menoleh sekilas ke arah Haidan untuk mengajaknya menghampiri Andrea.

Andrea mendongak kala ia dengar suara langkah dari arah depan. Ia berdiri, menatap Lail dengan pandangan berkaca. Wanita itu mendekati Lail, tangannya terulur untuk menyentuh wajah Lail.

"La-Lail?"

Lail hanya diam, tubuhnya membeku merasakan usapan tangan itu di wajahnya. Seketika matanya terasa panas ketika Andrea bergerak memeluknya.

Perasaan ini. Perasaan yang pernah hadir ketika Nilam masih di sisinya ketika ia kecil. Lail pernah merasakannya.

Lail hampir menangis, hatinya menghangat. Ia sangat merindukan perasaan ini, perasaan yang selalu ia dapat ketika ia bersama Nilam dulu. Nilam adalah wanita seperti Tante Nadin dan Tante Caca, tapi hanya Andrea yang bisa membuatnya merasakan hal yang sama ketika bersama Nilam.

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang