bab 20; setinggi angkasa, sedalam samudera

170 31 8
                                    

Kenapa ya, setelah sekian lama tumbuh, Lail harus dihadapkan dengan pilihan sesulit ini? Mengapa ketika ia sudah temukan sosok yang sedari ia kecil cari, ia harus memilih bersamanya atau tetap bersama sang ayah?

Siang ini Andrea menjemputnya di sekolah seusai ia melaksanakan ekstrakulikuler melukisnya. Wanita itu tersenyum lebar ketika Lail menabrak tubuhnya dengan dekapan erat. Entah, semenjak Andrea hadir, ia selalu merindukan dan ingin selalu memeluknya. Ia enggan kehilangan kembali, sebab kehangatan yang Andrea beri tak akan bisa ia temukan di manapun, bahkan pada diri Haidan.

Bagaimana pun masa lalunya, Andrea tetap ibu kandungnya, wanita yang berjuang antara hidup dan mati untuk membawanya melihat semesta.

"Laper ngga, Nak? Makan dulu, yuk," ajaknya.

"Mama engga jemput si kembar?"

Andrea mengusap surai Lail yang basah karena berkeringat, lantas melempar senyum tipis.

"Engga, adek-adek ada les hari ini. Pokonya, hari ini mama seharian sama Lail. Lail mau kemana aja deh, mama temenin."

"Ehm... beneran?"

Andrea mengangguk sebagai jawaban. Lail berpikir sejenak, sebuah tempat mampir di pikirannya. Ia sudah lama ingin pergi kesana.

"Ada satu tempat!"

🍁

Selesai makan siang di sebuah restoran Jepang, Andrea dan Lail pergi ke tempat yang Lail tunjukan. Tempat itu adalah sebuah bangunan tinggi di tengah kota, Andrea tidak yakin perusahaan milik siapa itu.

"Nak, ini kita dimana?" tanyanya ketika mereka sudah keluar dari mobil di area parkir.

"Ini perusahaan punya keluarga, Ma. Yang pegang om-nya Lail, ayo!"

Walau masih terkejut dengan fakta tersebut, Andrea tetap mengikuti Lail. Anak itu menggenggam tangannya untuk masuk ke lobi gedung megah itu. Lail kemudian berbicara pada resepsionis yang sepertinya sudah akrab dengannya. Lalu seseorang dengan seragam mengantar mereka ke lantai paling atas gedung itu. Lail membawanya ke rooftop.

"Sini, Ma."

Lail menarik pelan tangan Andrea untuk pergi ke pagar pembatas rooftop. Andrea terdiam sejenak melihat pemandangan yang ia lihat dari atas sana, kota Jakarta yang padat terlihat jelas dari sana, juga langit cerah yang memayungi mereka siang ini.

"Bagus sekali, Nak..."

"Lail suka melukis, Ma. Apalagi pemandangan. Waktu pertama kali sampai di Jakarta, Lail banyak melukis langit, karena setiap kali lihat langit, Lail merasa melihat mama."

Andrea menolehkan kepalanya pada Lail, diraihnya jemari sang putra dan digenggam erat. Lail tersenyum sebelum melanjutkan kembali perkataannya.

"Ayah ajak Lail kesini waktu itu, katanya rooftop gedung ini punya pemandangan yang bagus, dan langit kelihatan indah banget. Waktu itu udah sore, ayah nemenin Lail sampai Lail selesai ngelukis langit sore itu.

Lukisan itu masih ada sampai sekarang, Lail pajang di kamar. Setiap kali lihat lukisan itu, Lail kepikiran mama, walau Lail ngga pernah ketemu tapi rasanya mama selalu dekat sama Lail. Mama kayak langit, walau jauh, tapi selalu bisa Lail lihat dan selalu ada dimanapun Lail pergi."

Satu demi satu air turun dari mata Andrea, pandangannya mulai buram karena tangisnya. Ia dekap tubuh Lail, membiarkan angin perlahan menyapu wajahnya, dan kedua tangan Lail erat mendekapnya. Lail ikut menangis bersamanya, walau tetap, tangisan Andrea lebih keras dari suara riuh kota Jakarta siang itu.

"Mama sayang Lail...maaf butuh waktu lama buat nemuin kamu, sayang..."

"Lail juga sayang mama...sayang sekali."

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang