bag 9.1; mari bicara tentang hari itu

141 30 1
                                    

Haidan tidur di kantor malam tadi, dan hari ini ia merasakan tubuhnya hampir remuk karena tidur di sofa. Karena ia juga harus menyelesaikan pekerjaannya, ia memilih mandi di kantor. Untung saja ada pakaian yang sengaja ia tinggal kalau-kalau hal seperti ini terjadi.

Haidan duduk di sofa ruangannya, menyeruput kopi yang sudah disediakan OB dan menatap makanan yang sudah dibelikan. Ia tak terlalu berselera makan sebenarnya.

Haidan meraih ponselnya di meja, ada banyak pesan dan panggilan. Ia membuka satu pesan teratasnya.

__________

jagoan ayah

ayah tidur kantor?

tadi aku minta tolong pak gio kirimin ayah makanan
jangan lupa dimakan yah
aku pamit ke sekolah bareng bang adam

_________

Haidan tersenyum hangat, ah lelahnya seakan meluap begitu saja. Ia akhirnya mau sarapan padahal tadi tidak ada selera.

Ia membaca kembali pesan yang dikirim Lail lalu menemukan satu nama yang ia ingat salah satu teman Lail yang ia temui di warkop waktu itu.

Saat Lail masih SMP, anak itu jarang sekali bahkan seingat Haidan tidak pernah bicara soal teman-temannya. Ia tak pernah membawa temannya bermain ke rumah, atau pamit padanya untuk pergi main dengan temannya.

Lail lebih sering pergi sendiri. Saat itu Haidan kerap berpikir apa Lail tak punya teman di sekolah? Mengapa Lail tak seperti kebanyakan anak sebayanya yang sedang senang-senangnya bermain?

Ia kerap juga menepis pikiran buruk itu, Lail baik-baik saja, itu yang selalu ia tekankan dalam benaknya.

Lail tidak pernah bercerita hal buruk di sekolahnya, walau kadang Haidan bingung ketika melihat luka di tubuh Lail. Tapi Lail selalu bilang itu karena aktivitasnya saat olahraga atau hal yang lain. Selalu meyakinkan dirinya bahwa ia baik-baik saja.

"Lail udah gede, ya."

Haidan menunduk, menatap layar ponsel yang telah mati. Layar itu kembali hidup karena ada pesan masuk dari kliennya, tapi bukan itu yang menarik atensinya. Tapi wallpaper hp itu, foto Lail ketika masih bayi.

Ia ingat mengambil foto itu ketika Lail belum genap satu tahun.

"Kapan ya, Dek, ayah punya keberanian jujur ke kamu."

Haidan menyandarkan tubuhnya dan memejamkan mata.

"Dek, gimana nanti kalau kamu tahu kamu bukan anak ayah? Ayah ngga bisa bayangin, ayah takut."

🍁

flashback.

Jakarta, 2001

Apa kamu tahu rasanya dibuang oleh keluargamu sendiri?

Kalau belum, artinya kamu tidak akan tahu rasanya menjadi Haidan Nawasena.

Semua orang tahu keluarga Nawasena adalah keluarga dokter yang terpandang, dihormati, dan disegani oleh banyak orang.

Pemilik rumah sakit swasta terkenal dan sukses. Anggota keluarga Nawasena punya banyak klinik pribadi, beberapa di antaranya berkerja di luar negeri di bidang yang sama.

LAIL | end.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang